Malam kedua, di mana rumah semakin sunyi.
Ribuan tetes air mata jatuh mengiringi batin yang selalu berucap harap seraya memandang satu foto jagoannya yang tengah tersenyum lebar.
Rindu membelenggu bersama keresahan hati yang senantiasa hinggap. Beberapa kali manik menengok pintu rumah dengan harapan akan hadir suara khas yang dia dengar selalu memenuhi rumah ini.
"Mama! Helmi pulang!"
Tes
Sayang sekali, saat ini suara tersebut tidak lebih dari sebuah halusinasi.
Nyatanya pintu itu masih tertutup.
Kembali Tania mengalihkan perhatian ke arah foto. Menggerakkan jempolnya mengelus gambar wajah tampan sang jagoan seraya berujar di dalam hati, "kamu di mana, nak? Kok, belum pulang?".
Awal tahun di bulan pertama, dua kehancuran sudah menderanya secara bergantian. Luka si bungsu belum pulih, kini sayatan baru, datang menghujam si tengah.
Tania berpikir bahwa semesta seolah marah terhadapnya, sebab sempat meragukan darah daging sendiri demi mempertahankan kepercayaannya kepada orang asing yang salah.
Iya, Tania sungguh menyadari dan kini dia semakin tertekan karena penyesalan.
Matanya terpejam kuat, memeras air mata yang masih menggenang seraya menempelkan foto tersebut ke dadanya.
Hingga tak lama kemudian, datang seorang wanita tua yang begitu saja mendudukkan diri di sebelah Tania dan membawanya ke dalam pelukan hangat.
"Gimana kalau Helmi engga ketemu, Ma?" isaknya di dalam dekapan wanita yang ternyata adalah ibunya.
Entah sudah berapa kali pertanyaan yang sama keluar dari mulut Tania. Seluruh gundah seolah mendorong kata-kata tersebut untuk terus keluar meskipun tidak tahu bagaimana jawabannya.
"Sekarang cuma berdoa yang bisa kita lakuin. Helmi pasti ketemu, kok," ujar ibunya dengan nada lembut menenangkan seraya mengelus helaian rambut Tania.
Jika Helmi dapat ditemukan adalah sebuah kepastian, namun bagaimana dengan kondisinya nanti?
Hidup, atau ... tinggal nama?
Itulah yang menjadi beban di lubuk hati paling dalam. Tania terus memikirkan kemungkinan buruk yang ada tanpa mencoba berpikir lebih baik.
Di sisi lain, ada Maya yang terus berdiam diri di dalam kamarnya seraya memeluk boneka pemberian Helmi.
Tidak perlu dibayangkan seperti apa huru-hara yang ada di kepalanya. Maya terus bergelut dengan kegelapan yang mencoba menyelimuti hatinya.
Sorotannya kosong, tak terbaca apapun dengan jejak air mata yang mulai mengering. Bertarung dengan segala bayangan trauma dan perasaan bersalah yang tidak hentinya menghujam.
Kenapa dia malah menyuruh Helmi keluar waktu itu?
Seharusnya dia hanya perlu tetap diam tanpa menggubris Helmi.
Apa ini semua karenanya?
Benaknya kini begitu sempit. Terus menerus Maya berpikir bahwa hilangnya Helmi karena permintaannya untuk membelikan martabak.
Gadis itu terus menyalahkan diri sendiri dalam diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUNTUH (Rumah Yang Ingin Utuh) | Selesai
Ficción GeneralCerita ini hanya akan menyuruhmu untuk membayangkan bagaimana jika rumah kehilangan pondasinya. ©2021 Start : 29/11/2021 End : 22/10/2022