Semakin

63 10 0
                                    

Sungguh hari yang menyebalkan. Di hari Minggu yang lumayan mendung sendu ini, paling tepat ngendon di rumah sambil nonton TV sambil ngemil atau baca novel sampai mata juling. Intinya, aku ingin mendedikasikan akhir pekanku untuk istirahat. Apalagi hari Sabtu kemarin aku harus meeting online dan menyelesaikan cue card untuk event Literasi Bangsa.

Tapi keinginan tinggallah keinginan. Di saat aku ingin puas me time dan mengisi energiku untuk hari Senin esok, Mama tidak mendukung keinginanku. Tidak ada pengertiannya kalau anak gadisnya ini ingin istirahat setelah banting tulang dari Senin hingga Sabtu.

Pagi tadi, setelah sholat subuh, aku sangat mengantuk dan ingin tidur lagi. Kemudian bangun agak siang dan menonton acara kartun hari Minggu. Tapi Mama malah membangunkanku dan mengajakku merombak sepetak taman di halaman rumah kami.

"Nanti siang aja sih, Ma. Aku masih ngantuk," keluhku. Aku masih rela melewatkan kartun hari Minggu, tapi aku sangat mengantuk setelah begadang Sabtu malam dan ingin tidur lagi.

"Nanti siang aja tidur lagi. Kalau sekarang nanggung. Lagian kalau pagi tuh bangun, Jenar! Anak perawan jangan suka bangun siang-siang."

Ugh! Ingin rasanya aku merutuk. Siapa sih pencetus larangan bagun siang bagi perawan?! Tak mengertikah kalau kadang perawan juga butuh istirahat ekstra? Apalagi kalau perawannya kelelahan dan mengantuk setelah kerja lembur bagai kuda. Dan masalahnya, aku bukan jenis orang yang biasa tidur siang dan takkan bisa mengantuk di siang hari.

Akhirnya dengan agak terpaksa, aku memaksa diri untuk bangun dan ikut berkebun bersama Mama dan Maudy.

Seolah itu semua tak cukup, siang harinya Mama menyuruhku ke toko tanaman di tepi jalan raya untuk membeli pot bunga dan pupuk kompos. Ya Tuhan, rasanya aku ingin menangis. Bahkan kalaupun aku bisa mengantuk di siang hari, aku tetap takkan bisa tidur siang!

"Emang Maudy kemana, Ma? Kenapa nggak dia aja yang beli? Kan dia bisa naik motor," protesku.

"Maudy mau jalan sama cowoknya. Lagian itu berat, kamu naik gocar aja," kata Mama sambil mengelap pot-pot kaktus kecilnya dengan telaten.

Aku menatap Mama tak percaya dan tak berdaya. Ya terus mentang-mentang aku jomblo dan nggak ada yang ngajak jalan, jadi aku yang dikorbankan gitu?! Jomblo-jomblo gini, aku juga butuh istirahat dan me time huhuhu!

Lagi-lagi, demi baktiku kepada Mama, aku pun menurutinya walau sulit menahan ekspresi wajahku untuk tidak cemberut. Bahkan driver gocar sampai tidak berani mengajakku bicara saking garangnya mukaku.

Mendung semakin gelap dan angin berhembus kencang saat aku tiba di toko tanaman. Tanpa berlama-lama aku langsung menyebutkan pesananku pada pemilik toko dan berharap aku segera dilayani supaya bisa cepat pulang.

"Sebentar ya, Teh. Lagi ngedrop barang dulu," kata Bapak Pemilik Toko.

Aku menghela napas dan duduk menunggu di bangku bakso yang disediakan di teras toko. Makanya Bapak, punya karyawan dong! Biar ada yang bantuin. Masa iya pembeli disuruh nunggu begini? Mana banyak lagi barangnya! Namun aspirasi itu hanya kuteriakkan dalam hati saja. Sambil menunggu, aku membuka aplikasi Instagram dan scrolling tanpa minat seperti orang kurang kerjaan.

"Jenar!"

Seketika aku mendongak saat sebuah suara yang sangat kukenal menyapaku. Betapa kagetnya aku melihat si empunya suara.

"Nico?" ujarku tak percaya. What a surprise! "Kamu... beli tanaman juga?" tegurku heran. Aneh sih, jauh amat dia beli tanaman. Memangnya di Sentul nggak ada toko tanaman?

"Nggak, aku ngedrop tanaman sama kompos di toko ini."

Ngedrop? Maksudnya Nico yang memasok tanaman di toko ini? Nico, yang selama ini hanya kukenal sebagai Marcomm Project Officer sekaligus rekan kerjaku, rupanya seorang pengusaha?!

Upik Abu dan PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang