Sepotong Surga

76 11 0
                                    

Pak Prabu memanggilku bersama Dessy dan Mas Fahri untuk diberi project baru. Tidak ada kaitannya dengan pekerjaan, tapi sama serunya. Oh, tidak juga, ini bahkan jauh lebih seru ketimbang turun tangan menangani event, karena project kali ini memang project senang-senang. Divisi Marcomm akan mengadakan outing, dan Pak Prabu menunjuk kami sebagai tim panitia.

Mas Fahri selaku manager tim digital Marcomm ditunjuk sebagai ketua. Sedangkan aku dan Dessy ditunjuk sebagai bendahara sekaligus panitia general yang meliputi seksi konsumsi, perlengkapan dan lain-lain. Sebenarnya masih ada dua orang lain yang ditunjuk Pak Prabu sebagai tim panitia, yaitu Mas Tian dan Mbak Sekar. Mereka akan jadi seksi acara dan dokumentasi. Namun, hari ini mereka sedang mengawal event sehingga tidak bisa ikut rapat kecil-kecilan di ruang Pak Prabu.

"Tian dan Sekar udah saya bilangin sebelumnya. Nah, nanti langsung aja buat grup koordinasi. Dessy dan Jenar bikin usulan anggarannya ya, nanti dibantu juga sama Fahri."

"Siap, Pak!" jawab kami serempak bersemangat.

Aku keluar dari ruangan Pak Prabu dengan hati membuncah. Ya Tuhan, tempat kerja kah ini, atau sepotong surga? Baru tiga bulan aku bekerja di Starlight dan aku sudah dilibatkan dalam banyak kegiatan seolah aku adalah karyawan lama. Tak semua perusahaan memperlakukan karyawan baru seperti ini. Bahkan perusahaan tempatku bekerja sebelumnya tidak akan mengajak karyawan yang belum sampai setahun masa kerja ikut outing. Sedangkan di sini, tak hanya diajak bersenang-senang, tapi juga dilibatkan menjadi panitia bersama sahabatku, Dessy. Menyenangkan sekali!

Mataku bersitatap dengan Nico saat aku meliriknya. Aku tersenyum kepadanya. Wajah Nico tampak cemerlang seperti biasanya. Rambutnya basah dan ia mengenakan sandal. Pasti lelaki itu baru selesai sholat. Teduh sekali hatiku melihatnya, calon imamku (aamiin).

"Kamu udah makan siang, Nar?" tanya Nico seraya kembali mengenakan sepatunya.

Tumben Nico nanya. "Belum, aku baru balik dari ruang Pak Prabu."

Nico manggut-manggut. "Bawa bekal?"

"Iya, aku bawa bekal." Keuanganku sedang tiris-tirisnya, sehingga beberapa hari ke depan sampai tanggal gajian aku akan bawa bekal.

"Bekal apa?"

Aku sungguh kaget sekaligus bingung. Kok tumben sekali Nico berbasa-basi seperti itu padaku. Kalau yang basa-basi begitu adalah Mas Tian atau Mas Dion, itu wajar. Mereka memang sering bertanya begitu. Tapi Nico? Biasanya mana pernah dia mau tau aku sudah makan atau belum, mau makan di mana, atau bawa bekal apa.

Dengan sikap sewajar mungkin, aku menjawab. "Bawa tumis kangkung sama dadar telur."

"Wah, enak itu kayaknya."

Ih, kok Nico ramah banget sih?! Habis diruqyah kah dia sehingga hilang setan cueknya? "Kamu sendiri mau makan siang di mana?" aku bertanya balik.

Nico tampak bingung sejenak. "Di kantin belakang paling."

Aku hanya menanggapinya dengan ber-oh sambil manggut-manggut. Usai mengenakan sepatu, Nico pun meninggalkan meja kerjanya untuk makan siang. Sedangkan aku duduk tercenung di meja kerjaku. Kemudian membenamkan wajah di antara kedua tanganku untuk meredam cekikikan bahagia.

Ya Tuhan, bolehkah aku menganggap ini adalah pertanda bahwa Nico mulai terbuka dan melunak kepadaku?

***

Pukul empat sore, jam-jam cooling down. Badai pekerjaan sudah mulai mereda, atau sengaja disingkirkan karena otak dan pundak sudah penat. Jam-jam saat biasanya aku sedang berselancar di media sosial, window shopping di platform belanja online, atau jajan di minimarket bersama Dessy.

Upik Abu dan PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang