Sekotak Sayang

60 7 1
                                    

"Kok pagi banget kamu bangun?" tanya Mama saat aku sudah berdiri di depan kompor.

Aku membalasnya dengan senyuman seraya meletakkan masakanku yang baru matang. Bukan lagi, bahkan mungkin bisa dibilang aku kurang tidur. Hari ini aku berniat membawa serabi solo yang proses pembuatannya cukup rumit, juga karena aku baru belajar. Pukul tiga dinihari aku bangun untuk membuat adonan yang harus didiamkan selama satu jam agar hasilnya bagus. Kemudian pukul setengah lima aku bangun lagi untuk memasaknya. Syukurlah adonannya berhasil, namun entah bagaimana rasanya karena aku belum mencicipinya.

"Iya, Ma. Aku bikin serabi buat aku bawa ke kantor," jawabku. "Cobain deh, Ma."

Mama mengambil salah satu dan memakannya. "Enak ini. Pintar masak juga kamu," puji Mama seraya mengambil lagi serabi. "Kok ya bisa bikin serabi," gumamnya.

Aku merasa lega oleh pujian Mama. Aku tahu Mama jujur, bukannya hanya memuji hanya karena aku anaknya. Ngomong-ngomong, Mama adalah tipe ceplas-ceplos dan pasti akan mengatakannya langsung kalau masakanku tidak enak.

"Aku lihat resep di internet, Ma hehehe."

"Ini kalau pakai nangka tambah enak."

"Iya, sih. Ini bikinnya dadakan aja, pakai bahan yang ada di rumah." Untungya Mama masih punya dua saset ragi yang bisa kugunakan. "Toppingnya juga pakai keju yang ada di kulkas."

"Ya nggak apa-apa sih, enak juga." Mama mengambil sebuah serabi lagi. Sepertinya Mama lapar. Untung tadi aku membuat adonan agak banyak. "Buruan ya, Mama mau bikin sarapan."

"Iya, Ma. Ini sebentar lagi selesai."

***

Aku tiba di kantor lebih pagi dari biasanya. Belum banyak teman-temanku yang datang. Bahkan Mas Ali masih mengelap meja-meja yang kosong. Aku berharap semoga pagi ini Nico juga datang agak pagi. Setidaknya sebelum Mas Tian dan Mas Dion muncul, supaya aku bisa memberikan serabi kepadanya tanpa ketahuan dua temanku yang resek itu. Malas banget kalau mereka malah meledek!

Harapanku jadi kenyataan. Tumben-tumbenan Nico juga datang pagi. Tanpa buang waktu, aku langsung bergegas menghampirinya sambil mengatur napas. Tenang, aku harus santai memberikannya. Jangan grogi dan kelihatan bodoh.

"Nic," panggilku saat ia meletakkan tas laptop.

"Iya?" sahut Nico seraya melepas jaket.

Aku menyodorkan sekotak serabi solo yang sudah hampir dingin setelah menempuh perjalanan dari Bogor di dalam kereta ber-AC. Mungkin aku harus mulai memikirkan beli tempat makan yang tahan suhu supaya makanan di dalamnya tetap hangat. Mudah-mudahan masih enak.

"Apa ini?" tanya Nico seraya menerima kotak makan pemberianku.

"Serabi solo, aku bikin sendiri," kataku malu-malu. Pasti saat ini mukaku seperti anak SMP yang tersenyum seraya memandang penuh harap pada pujaanku.

"Wah iya?" Nico tampak terkesan. "Rajin banget kamu."

Rajin lah. Demi cinta! "Nic. Dicobain dong."

Dengan bibir yang terus tersenyum, Nico membuka kotak makanku dan mulai mencicipi. Mendadak lagi-lagi aku overthinking. Mudah-mudahan tadi pagi Mama jujur kalau masakanku rasanya enak. Mudah-mudahan Nico suka.

Aku memandangi Nico selagi ia mengunyah. "Gimana? Enak nggak?"

Nico mengangguk. "Enak, Nar. Lembut." Kemudian ia balas memandangku. "Aku percaya sekarang, passion kamu emang benar di masakan ya."

Aduh, tahan Jenar! Jangan ngefly! "Baru belajar itu," kataku merendah.

"Tapi ini enak, beneran. Makasih ya."

Upik Abu dan PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang