Gagal Maning

70 11 0
                                    

Aku duduk melamun sambil mengetuk-ngetukkan pulpen ke meja kerjaku seperti orang kurang kerjaan. Padahal sebenarnya aku sedang jauh dari definisi kurang kerjaan. Di mejaku ada setumpuk tagihan yang harus dibayar, dokumen perjalanan Mas Tian bulan kemarin yang harus kuselesaikan, dan usulan-usulan yang harus dimintakan tandatangan Pak Prabu. Namun aku malas mengerjakannya, pikiranku sedang melalang buana.

Ucapan Dessy kemarin begitu memengaruhiku. Sepertinya Dessy punya kekuatan charmspeak seperti tokoh Piper di novel serial Heroes of Olympus. Ucapan-ucapannya begitu berpengaruh dan membuka pikiranku walau kadang agak menohok.

Aku masih memikirkan kata-kata Dessy tentang betapa bebasnya aku. Ya, dia benar, akunya saja yang bodoh. Begitu mencintai, tergila-gila dan setia kepada orang yang bahkan belum kumiliki. Entah ke mana perginya logikaku. Jadi yang perlu kulakukan sekarang adalah melupakan Nico, berpegang pada logikaku dan mulai membuka hati. Mungkin saja aku bisa mengalami kisah cinta yang berbeda dan lebih indah dengan lelaki lain yang mencintaiku. Bukannya merana-rana jatuh bangun mengejar Nico yang seolah tak berujung. Pikiran-pikiran itu membuat hati dan emosiku jadi lebih netral dan ringan.

Tak yang salah dengan diriku hanya karena Nico tidak mencintaiku. Aku tidak jelek. Aku baik, ramah, dan menjadi orang yang gaul bukanlah segalanya. Paling tidak aku bukan anti sosial dan tidak kuper-kuper amat. Aku adalah versi terbaik diriku dan aku bangga jadi diri sendiri tanpa mengubah karakterku demi agak diriku dicintai.

Ngomong-ngomong aku sudah punya beberapa nama untuk diprospek. Ada Angga, seorang protokoler dengan perawakan tinggi gagah, senyum ramah, dan pembawaan yang flamboyan. Lalu ada Imam, salah satu mentor divisi Human Capital yang sering memberi training untuk karyawan kantor pusat maupun kantor cabang. Ia berkulit sawo matang, manis, lugas dan penuh percaya diri. Ada juga Revan, team leader perpajakan di divisi Keuangan. Walaupun ia orang divisi Keuangan, tapi Revan tidak kaku dan menyeramkan. Ia berkulit putih, tinggi, dan penampilannya selalu rapi. Aku pernah bertemu Revan dua kali saat salah menghitung pajak. Ia membetulkan, bahkan mengajariku dasar-dasar pajak dengan sabar.

See? Lelaki  bukan cuma Nico. Di kantor ini saja banyak yang bisa diprospek. Apalagi di luar sana.

"Nar,"

Aku terlonjak kaget dan terlempar dari lamunanku saat seseorang memanggilku.

"Eh, buset. Gue nggak ngagetin padahal," gumam Mas Tian yang ikutan kaget.

Aku tersenyum malu-malu. "Kenapa, Mas?"

"Nih, bon taksinya udah ketemu. Lo belum submit dokumen perjalanan gue ke Pak Prabu kan?" katanya seraya menyerahkan selembar bon taksi.

"Oke. Belum, Mas."

"Syukur deh. Tolong masukin sekalian ya. Lumayan nih dua ratus ribu hehe."

"Iya siap."

Mas Tian pun kembali ke tempat duduknya. Sudah cukup sesi melamun hari ini. Aku harus kembali ke dunia nyata dan menyelesaikan pekerjaanku supaya bisa pulang tepat waktu. Ini hari Jumat dan aku akan pulang bareng Nico seperti biasa.

***

"Aku ngirim e-mail dulu ya, Nar. Koneksi internetnya lagi lemot nih," kata Nico saat melihatku sudah menjinjing tas.

"Iya, santai aja." Aku duduk lagi di bangkuku sambil scrolling Instagram.

Satu demi satu tim Marcomm pamit pulang hingga tinggal tersisa empat orang termasuk aku dan Nico. Aku mulai kebosanan. E-mail apa sih yang dikirim Nico? Kok lama banget?

"Alhamdulillah, selesai," gumam Nico dengan bahu yang kembali menegak.

Aku pun ikut-ikutan menghela napas lega. Nico langsung mematikan laptopnya dan berkemas. "Ayo jalan," ajaknya setelah selesai.

Upik Abu dan PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang