Orang bilang, perang terberat adalah perang melawan diri sendiri. Aku tak tahu apakah yang sedang kualami ini sama dengan pepatah itu. Karena sekarang aku sedang berperang melawan perasaanku terhadap Nico. Yang ternyata lebih sulit dibanding hanya berperang melawan pesonanya. Karena kali ini, rasa suka itu sudah dibarengi oleh rasa kagum akan kepribadiannya.
Walau batinku sedang mengalami peperangan berat, aku berusaha tampak normal di luar. Bekerja, tersenyum kepada dunia dan menyapa orang-orang sekitar, mengobrol dan bersenda gurau dengan kawan-kawan, bersikap sewajar mungkin di depan Nico. Poin terakhir ini agak sulit. Hingga ketika aku berhasil melakukannya, itu terasa seperti sebuah pencapaian.
Nico memang menyebalkan. Aku kesal kepadanya yang, entah sengaja atau tidak, mengabaikanku. Tapi bagaimanapun, aku sadar lelaki itu tidak bersalah dan aku tidak berhak marah padanya karena hal itu. Toh Nico juga tetap bersikap seperti biasanya kepadaku. Tetap profesional dalam bekerja, ada kalanya ia ramah, ada kalanya pula ia cuek. Yang jelas, setelah insiden mengajak nonton itu Nico tidak terlihat menjauhiku. Aku menghargai sikapnya itu. Setidaknya sikap itu cukup meredakan rasa malu dan kesalku yang merasa diabaikan olehnya.
Tapi lama kelamaan melawan perasaanku kepada Nico terasa melelahkan. Bagaimana bisa aku berhenti menyukainya kalau setiap hari aku disuguhi pemandangan wajah tampannya dan dibuat kagum oleh sikap dan kepribadiannya yang baik itu? He's so well rounded personality. Sosok yang sudah jarang ditemui di dunia ini.
Aku juga tidak bisa bohong kalau aku merasakan siraman kebahagiaan setiap ia menyapaku atau bicara denganku. Jadi, aku memutuskan untuk membiarkan dan menikmati saja apa yang kurasakan ini. Bukankah rasa cinta itu anugerah dari Sang Kuasa? Sebuah perasaan yang membuat hidupku terasa lebih berarti, membuatku selalu bersemangat memulai hari dan tegar menghadarpi gempuran pekerjaan serta hidup yang getir, alasan bagiku untuk tersenyum setiap harinya. Ya, bagiku kehadiran Nico bukan hanya selarik pelangi yang menghias langit di kala hujan reda. Melainkan secercah sinar mentari yang menyinari dan menghangatkan dunia selepas malam panjang yang dingin.
"Jenar," Mas Tian memanggilku.
"Ya?" aku menoleh.
"Gue ada kirim invoice EO webinar komunikasi digital ya ke WA lo,"
Aku segera mengecek ponselku dan melihat invoice yang dikirim Mas Tian melalui pesan whatsapp. "Invoice aslinya ada nggak, Mas?"
"Nah itu," cetus Mas Tian. "Kemarin orang EO nya salah kirim. Dia kirimnya ke Procurement."
"Yaaah... kumaha eta?" ujarku. Berarti mau tak mau aku harus mengambilnya ke Divisi Procurement yang letaknya di lantai dasar.
"Mau ke Procurement ya?" tiba-tiba Nico yang, sejak tadi sunyi senyap, bersuara.
"Iya, mau ambil invoice."
"Sekalian aja kalau gitu. Aku juga kebetulan mau ke Procurement, minta tanda tangan PKS vendor."
"Boleh. Makasih ya," aku berusaha menahan senyumku agar tidak terlalu lebar karena kegirangan.
Nico pun langsung bangkit dan melenggang keluar ruang Divisi Marcomm. Baik sekali Nico. Berarti tadi dia memperhatikan aku mengobrol dengan Mas Tian, sampai tahu saja dia kalau aku mau ke Divisi Procurement. Bisa peka juga dia ternyata. Dan... aduh, sebentuk pertolongan begitu saja sudah membuatku senang dan baper setengah mati! Tenang, Jenar, jangan baper! Nico baik, karena kebetulan dia juga ada perlu ke Divisi Procurement!
Aku terkesiap dan refleks terlonjak dari tempat dudukku saat merasakan kehadiran seseorang di sampingku. Aku sigap menoleh dan seketika wajahku bertatapan dengan orang yang kebetulan sedang kulamunkan. Lalu di luar kendali, aku menjerit di depan wajah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Upik Abu dan Pangeran
RomanceCinlok di kantor? Jenar sadar itu berbahaya, apalagi untuknya yang sedang merintis karir. Embel-embel cinta picisan yang mengganggu pikirannya bisa berbahaya untuk kinerjanya. Tapi laki-laki tampan nan santun begitu, siapa yang bisa ingkar akan pes...