It's Over

75 11 0
                                    

Nico mengantarku sampai rumah dan langsung pamit setelahnya. Jujur saja, aku agak kecewa. Sejak di pesta pernikahan Citra hingga sepanjang perjalanan pulang, aku berharap Nico menyatakan cinta padaku. Apalagi ia bersikap seolah akan melakukannya. Namun rupanya harapan itu masih terlalu muluk. Aku masih dalam status yang sama, hanya teman kerja Nico.

Aku menghela napas dan mencoba tidak berkecil hati. Mungkin Nico adalah tipe orang yang take things slow, jadi aku harus ekstra suabarrr.... Yah, masih bagus Nico tetap baik padaku setelah mendengar omongan tak enak Maudy sebelum berangkat tadi.

"Assalamualaikum," ucapku seraya membuka pintu rumah.

"Waalaikumsalam," Mama keluar dari dapur dan menyambutku. "Lho, Nico langsung pulang?"

"Iya, Ma."

"Gimana tadi kondangannya?" tanya Mama

Aku meletakkan tas dan duduk di sofa. "Alhamdulillah lancar."

"Nico nggak tersinggung kan?"

"Nggak kok, masih santai dia."

Mama tampak lega. "Alhamdulillah. Dari tadi Mama kepikiran. Takut Nico tersinggung, terus kalian jadi nggak asyik. Mama udah negur Maudy, biar lain kali nggak ngomong dan nge-judge orang seenaknya."

Aku tersenyum kecil. "Tapi yang dibilang Maudy tadi benar, Ma. Aku belum pernah cerita ya? Nico emang dulu anak bandel waktu keluarganya masih jaya. Lalu papanya ketahuan korupsi dan dipenjara sampai sekarang. Mamanya juga di RSJ karena depresi."

Mama menatapku. Lalu dengan ketulusan yang menghangatkan hatiku, Ibu berkata. "Terus kenapa? Ibu nggak masalah. Toh Nico baik dan pekerja keras. Dia juga kelihatannya penyayang, dia sabar ngurus orang tuanya yang bermasalah."

Mataku berbinar, tak percaya mendengar ucapan Mama. "Beneran, Ma?" Kukira Mama akan berubah pikiran dan tidak menyukai Nico setelah tahu siapa Nico sebenarnya.

"Iya, Nar. Toh orang yang berasal dari keluarga yang baik-baik nggak selalu baik. Ya, Nico aja bandel kan waktu keluarganya masih jaya dan baik-baik aja?" kata Mama. "Berarti Nico dewasa. Dia bisa mengambil hikmah dari permasalahan keluarganya dan menyikapi dengan baik. Malah akhirnya Nico jadi baik kan? Jadi nggak bandel lagi?"

Wah, sungguh melegakan. Ingin rasanya aku memeluk Mama.

"Tapi masalahnya," lanjut Mama. "Nico gimana ke kamu? Dia suka nggak sih sama kamu? Apa kamu cuma dianggap teman?"

Nah, itu masalahnya. Aku mengangkat bahu. Aku sendiri pun tak tahu. Walau Nico baik dan mulai perhatian, aku tetap butuh kepastian. Aku butuh diyakinkan.

"Ya udah sabar. Kalau jodoh juga nggak ke mana," kata Mama saat raut wajahku berubah.

***

Bisa dibilang, aku dan Starlight adalah simbiosis mutualisme. Aku begitu beruntung bisa diterima kerja di perusahaan provider besar ini. Selain karena gaji dan benefitnya bagus, Starlight juga mempertemukan aku dengan Nico. Dan gara-gara Nico, aku jadi semangat bekerja sehingga bisa memberikan kontribusi terbaikku pada perusahaan. Bahkan kata Mas Tian, aku adalah admin paling rajin dan bersemangat jika dibandingkan dengan admin-admin yang unit project sebelumnya.

Penyemangatku sudah duduk manis di mejanya saat aku tiba di kantor. Ia tampak serius menatap layar laptop dengan kedua headset terpasang di telinganya. Sedang ada project apa Nico hingga ia sudah tampak sibuk pagi-pagi begini? Tidak biasanya Nico begitu.

"Hai, Nic!" Dengan ketulusan hati dan senyum riang, aku menyapa Nico.

Tidak ada reaksi. Sepertinya Nico tidak dengar. Aku melirik sekitar. Untunglah tidak ada yang menyadari adegan memalukan barusan. Aku buru-buru ke meja kerjaku dan merutuk dalam hati. Seharusnya aku jangan menyapa orang yang sedang memakai headset!

Upik Abu dan PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang