10# Selamat tinggal, Kenangan

572 52 22
                                    

"Tak dapatkah aku kembali ke masa lalu, dan memelukmu seperti yang pernah kulakukan dulu?Untuk sekali ini, meski ini adalah yang terakhir kalinya... aku akan merasa lebih baik. 

Aku sungguh merindukanmu"

Aku sungguh merindukanmu"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


*** 

Taufan Alvino, Adhinata Gempa Syahri, Blaze Adhnan, Ice Frost, Thorn Rolland dan Solar Light.

Mereka hidup kurang lebih 17-18 tahun. Tumbuh sebagai remaja yang banyak belajar dan bahagia. Dewasa dan belum dewasa, banyak pengalaman dan pelajaran hidup yang mereka dapatkan seiring hidup mereka yang bertumbuh di sebuah keluarga hangat. 

Rumah mereka terlalu banyak menyimpan kenangan dan cerita yang tidak bisa dijelaskan satu per satu. Perjalanan hidup dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun.. terasa begitu singkat namun menyisakan luka yang begitu lama membekas. 

Taufan Alvino yang berjuang dengan mimpinya menjadi seorang violinist, Blaze Adhnan dengan sejuta rasa penasarannya dan Ice Frost si tukang molor yang selalu ada meladeni saudaranya itu. Thorn Rolland yang tertatih mencari jati diri dan menemukan tujuannya, serta Solar Light si jenius narsis yang suara kameranya selalu dirindukan oleh Halilintar. 

Rumah ini adalah tempat yang paling membahagiakan bagi Halilintar. Banyak pelajaran hidup dan canda tawa yang tak bisa ia dapatkan di tempat lain, rasa kekeluargaan dan persaudaraan yang mengajarinya untuk jadi seseorang yang dewasa, penuh pendirian dan percaya diri. Bagi Halilintar, keluarga adalah segalanya. Ia mencintai keluarganya lebih dari apapun di dunia ini. 

Seandainya Halilintar bisa mengulang waktu, ia tidak akan membiarkan mereka pergi hari itu..atau setidaknya ia akan menyertai mereka sehingga jikalau harus mati sekalipun, ia tidak akan kehilangan. Seandainya Halilintar tau bahwa ia akan kehilangan di hari itu, ia akan memeluk mama, papa, dan seluruh saudaranya dengan sangat erat seakan ia akan mati esok. Ia ingin mengungkapkan seberapa cintanya ia terhadap mereka semua. Rasa cinta yang mungkin tidak akan bisa dijelaskan, bahkan dengan beratus ratus halaman sekalipun. 

"keluarga itu bukan soal punya rumah, tapi keluarga itu sendiri adalah rumah. Keluargaku adalah rumah dimana aku ingin selalu kembali padanya"

Hari ini Halilintar kembali mendatangi rumah yang sudah 2 bulan ia tinggalkan. Sejak kehilangan keluarganya, ia tidak mau lagi menempati rumahnya itu. Ia tidak bisa.

Kematian seluruh anggota keluarganya terjadi terlalu mendadak. Dan kini ia percaya bahwa nyawa manusia memang lemah. Tuhan bisa mengambilnya secepat dan semudah itu tanpa aba aba.

Mendudukan dirinya di atas sofa yang berdebu, pikiran Halilintar mulai melayang layang. Ia melihat kesana kemari dan memorinya bersama keluarganya mulai muncul semula.

Gempa dan mama yang selalu menyiapkan sarapan di dapur, setiap pagi, tanpa absen. Bahkan saat mereka lelah sekalipun.

Papa dan kursi sofa kesayangannya, tempat ia selalu duduk setiap pagi ditemani secangkir kopi panas dan sepiring pisang goreng buatan mama sambil membaca koran.

Taufan yang selalu bermain biola di halaman belakang. Duduk berjam jam bersama Halilintar menatap senja yang diiringi oleh suara merdu permainan musik Taufan.

Blaze dan Ice, kakak beradik yang selalu akur walaupun terkadang bertengkar kecil saat menonton televisi karena berebut remote.

Thorn dan Solar , saudara termuda yang memiliki love hate relationship. Akur, namun terkadang bertengkar hingga saling diam hingga berhari hari. Namun mereka tetaplah saling melengkapi, saling menyinari.

Setelah itu, Halilintar memutuskan untuk berjalan menuju halaman belakang dan duduk di sana.

Pukul empat sore, angin berhembus pelan disertai senja yang mulai menampakan batang hidungnya. Saat ia menengok,  dapat ia lihat bayangan sang adik muncul di sebelah kirinya, tengah bermain biola kesayangannya sambil tersenyum ke arahnya. 

"udah dua bulan.. tapi rasanya, bayangan kalian sulit sekali untuk sirna dari pikiranku.." Halilintar melirih sedih. 

Lalu pemuda itu berdiam diri cukup lama. Menyenderkan kepalanya pada pintu kaca yang menjadi penghalang antara rumah dan halaman belakang , ia tersenyum dengan mata tertutup. Banyak sekali kejadian-kejadian lucu, bahagia, sedih berputar di kepala Halilintar seperti film dokumenter. 

Alih alih menangis, Halilintar justru tertawa. Dibalik kenyataan yang mengharuskan dirinya berpisah selama lamanya dengan keluarganya, ia melihat titik terang dimana ia masih diberikan kesempatan untuk menjalani hidup..walaupun anak itu telah kehilangan rumahnya. Karena seperti apa yang dikatakan orang orang , nggak ada yang abadi di dunia ini. Pada akhirnya semuanya tetap harus pergi. 

Hanya soal waktu. 

Kemudian, Halilintar kembali bangkit dan masuk kedalam rumah.

Langkahnya terhenti , dirinya tertegun begitu bayangan Blaze, Taufan dan Thorn yang tengah bermain kejar kejaran tiba-tiba saja terlihat di depan matanya. Gempa dan mama yang tengah memasak dan mengomeli ketiga anak yang nyaris membuat Gempa tersenggol saat sedang menggoreng tempe. Papa yang hanya tertawa sambil memegangi korannya, Solar yang duduk di meja makan dan asik dengan novelnya. Dan Halilintar.. berdiri disana dan memperhatikan mereka semua dengan seulas senyum. 

Setitik airmatanya jatuh, membasahi lantai di depannya. Detik selanjutnya, Halilintar sudah jatuh berlutut dan menangis dalam kesendiriannya. Seiring dengan bayangan keluarganya yang mulai sirna, ia menangis semakin keras. 

"nggak ada yang abadi, baik kesedihan..atau kesenangan. Semuanya akan baik baik saja, hanya soal waktu.." 

Kata kata mama yang malah terngiang di otaknya membuatnya berhenti menangis. Halilintar memejamkan matanya rapat rapat, menikmati hembusan angin sore yang menerpa punggungnya. 

Setelah menarik nafas panjang , ia menegakan kepalanya dan memutuskan untuk melangkah pergi dari rumah itu. Sepanjang jalannya, ia menatapi bingkai-bingkai foto yang tergantung di tembok. Satu foto keluarganya pada bingkai paling besar , dan delapan bingkai kecil yang berisikan foto mama-papa , serta tujuh anak itu satu per satu.

Sebelum keluar, ia sempatkan untuk menghampiri foto foto itu dan membersihkannya satu per satu. Hampir semuanya sudah mulai berdebu karena ditinggal lama, dan Halilintar tidak suka itu.

Sekotor apapun barang-barang yang lain, hanya benda ini saja yang tidak boleh. 

Mungkin sekarang , Halilintar akan jadi satu satunya orang yang bisa menginjakan kaki di rumah itu dan melihat wajah wajah bahagia keluarganya yang terpampang di dinding ruang tengah. Tersenyum, Halilintar mengelus foto-foto itu satu per satu.

"waktu nggak bisa diulang , namun kalian akan tetap jadi kenangan. Yang pergi, biarkan pergi.. yang ada sudah seharusnya dijaga.. " bisiknya. 

"ma.. pa.. fan, gem, Blaze, Ice, Thorn, sol.." Halilintar menghela nafas "aku makan dengan baik..aku menjaga diri, dan kesehatanku dengan baik. Karena itu jangan mengkhawatirkanku.. aku sayang kalian"

Berkata itu dengan mata yang berkaca kaca, Halilintar tidak menangis. Ia tersenyum tipis sebelum mengambil ranselnya dan melangkah keluar dari rumah itu. 

Ia berharap kenangan yang ada akan tetap terjaga, dan terkunci rapat disana.

Hingga saatnya tiba.





-FIN- 


Sampai disini saja kisah Halilintar dan Keluarganya. Diharapkan kisahnya dapat menjadi kekuatan bagi semua orang yang mengalami kehilangan.
Sekian.

Nico undur diri.
Sampai jumpa di cerita cerita selanjutnya!

Memories (All Elementals - Camelot Regnum Ramadhan Event)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang