Dan pada akhirnya gadis itu menyerah, entah apa dosa dia di kehidupan lalu hingga membuat kehidupan saat ini berjalan sangat pedih. Bisakah Parish tertidur sebentar saja, bisakah Parish istirahat dari banyaknya masalah. Terlepas dari semua emosi yang ia pendam, Parish tak pernah diberi kesempatan untuk bicara.
Apakah ini akhir?
Beginikah akhirnya?Parish meninggalkan ibu yang kini sedang di rundung pilu karena ditinggalkan bajingan itu, dan mungkin kini adiknya sedang kebingungan harus melakukan apa.
Di tengah rasa lelah dan tanpa solusi ini, Parish benar-benar hampir ingin selesai. Maka berdirinya Parish di tepi tebing ini menjadi jawaban seberapa melelahkan hidupnya, mata basah yang terpejam dan batin yang terus menghitung waktu.
Setidaknya Parish akan jatuh setelah matahari itu masuk, hingga tak ada yang melihat bangkainya. Hari ini adalah kiamat bagi Parish.
"Kamu pikir dengan hanya menangis bisa membawa hubungan rumah tangga kita membaik, semuanya kamu yang mengawalinya. Jika saja kita-"
"Apa?! Kamu hanya menyalahiku tanpa melihat betapa buruknya perlakuanmu padaku. Kamu pikir kenapa aku berbuat seperti ini, jika saja? Jika saja apa? Jika saja kamu tidak memilih untuk berselingkuh dariku maka aku tidak akan begini!!!"
"CUKUP!"
Keluarga yang tidak pernah dalam keadaan baik, dan Parish yang masih harus memikirkan bagaimana dia bisa makan besok. Bagaimana adiknya bisa belajar dengan tenang, bagaimana ia mengobati luka yang ibu peroleh dari pertengkaran wanita itu dengan ayah.
Di detik dirinya ingin mati saja harus memikirkan hal ini, apa Parish harus seperti ini saja.
Banyak resiko setelah dirinya melompat, kemungkinan ibunya akan gila dan mendadak adiknya tidak ada yang mengurus. Atau bisa jadi adiknya akan bersama ayah dan di pukuli setiap hari.
Dan Parish—
Ya Tuhan, bagaimana bisa Parish egois. Tapi lelahnya sangat terasa, dengan pandangan kosong dan juga helaan napas yang tersendat.
Parish membiarkan tubuhnya merosot, terhuyung kebawah dan jatuh begitu saja menghantam air tenang itu.
Berharap semuanya akan selesai, berharap tak ada lagi kehidupan seperti ini jika dia terlahir kembali. Parish selesai sampai disini.
Tapi tidak—
—tangan itu meraihnya, merengkuh nya dalam dinginnya air pada malam itu.
***
Gelapnya mendadak terang, Parish rasa di kelilingi banyak orang. Perut sisi kirinya mendadak perih, Parish ingin berteriak saking kesakitan nya. Tapi mulutnya terkunci rapat, tangannya juga tak bisa di gerakkan.
Namun, bukankah seharusnya dingin yang menusuk tulang dirasakan. Sama sekali tak merasa basah, bahkan Parish bisa bernapas meski sedikit tersendat.
Sesuatu memaksa masuk pada lengan kanannya, dan Parish kembali tak sadarkan diri.
Berakhir dirinya berdiri pada hamparan hijau, tak ada pohon, rumah, atau manusia lain selain dirinya. Hanya hijau.
Sementara orang itu tersenyum dengan lavender ditangannya, mengejutkan Parish dengan menautkan jemari keduanya.
Parish menatap iris yang paling hitam itu, taring kecil menyembul saat pria itu tertawa di depannya, ingin mengingat betapa lucunya titik pada tulang hidungnya. Parish tak tau, apakah ini mimpi atau akhir dari hidupnya.
Yang Parish dengar, pria itu berucap;
"Tolong hidup lebih lama lagi, temani hidup saya yang kesepian ini"
.
.
.
."Heh, lucu sekali. Kau menolong gadis itu di tengah kamu juga bersiap untuk terjun ke bawah" Dokter muda yang banyak bicara itu kini tengah mencibir temannya yang baru saja terkena musibah, baik sekali.
"Aku hanya tidak tenang jika seseorang lebih dulu mati tepat di depan ku, aku keduluan" Sahutnya, masih saja bisa bercanda di kala hidupnya di ambang kematian.
"Keduluan? Sudahlah, sebaiknya kamu ikuti saran ku. Meski kamu hanya memiliki 40% kesempatan untuk hidup, menurutku kamu hanya panik di awal"
"Sudahlah, aku akan pulang" Shaka bangkit dari kursi yang ada pada ruangan Dokter Park Jongseong.
Langkah kakinya terhenti, menoleh pada pria yang sering disebut Jade itu. "Beritahu aku jika gadis itu sudah bangun, aku sudah meminta seseorang untuk mengabari keluarga nya"
Kemudian, BLAM!
"Aish! Mengejutkan saja! Bagaimana bocah tengik itu bisa menjadi Dokter bedah umum dengan tingkah kekanak-kanakan nya itu"
Shaka akhirnya menghirup udara segar, tak habis pikir dirinya akan diomeli Jade. Belum lagi jika dia bertemu dengan Dokter lain-
"Ya! Park Sunghoon! Shaka!"
Ah sial, hidup Shaka tidak akan tenang sekarang.
"Wae?!" (Kenapa?!) sahutnya tak kalah keras, mungkin dua orang ini lupa sedang berada di rumah sakit.
"Kamu gila, berita itu menyebar di mana-mana. Di internet juga, lihat ini" Dokter spesialis bedah anak itu girang menunjukkan layar iPad nya.
Shaka mengernyit. "Dokter Park Sunghoon, mengejutkan Korea sebab menjatuhkan diri di tebing. Ternyata menolong seorang gadis yang di ketahui mencoba bunuh diri" Eja Dokter Shim Jaeyun atau kerap di panggil Dokter July.
Shaka tertawa remeh. "Apa yang di lihat belum tentu itu yang terjadi" Kemudian pergi begitu saja.
"Eh? Maksud kamu apa sih?" Dokter perempuan itu setengah berlari mengikuti Sakha.
"Kamu itu wanita pintar, kenapa harus bertanya. Tebak lah sendiri" Shaka sampai pada Lamborghini merah metalik nya, dirinya menepuk pucuk kepala July sebelum memasuki mobilnya. "Tadinya aku sudah senang karena tak akan bertemu wanita cerewet seperti mu lagi, tapi ternyata Tuhan belum merestui kematianku. Aku titip gadis di ruangan VVIP, dan aku titip salam pada suami mu"
July cengo, dia sama sekali tak masuk dalam ucapan Shaka. Dokter wanita yang pintar nan cerdas ini memang sedikit butuh waktu untuk mencerna apapun, alias lemot. Dan hebatnya dia menjadi Dokter yang paling di cari di Korea.
Mobil itu melaju begitu saja, menyisakan July yang sedang mengusap tengkuknya.
"Jadi maksudnya, dia yang akan bunuh diri?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pathetic - Sunsun
Short StoryTerjebak pada ruangan hampa, seakan bila pintunya terbuka sedikit akan memperlihatkan kehancuran yang dapat menanam trauma. "Kenapa kamu datang disaat posisi kita sama, yang saya butuhkan bukanlah orang seperti kamu" Dia yang juga hancur datang mel...