Juni memejamkan matanya saat gunting itu mulai memotong helaian rambutnya, tak disangka juga Parish bisa melakukan hal ini. Fokus Sheon yang terputus dari tangan yang dengan lembut bergerak luwes merapikan mahkota Juni, sentuhan akhir dan Parish meniup sisa rambut-rambut kecil yang menempel di wajah Juni.
“Bagaimana menurut, Ibu?”
Sheon terpana. “Ah ini bagus dan lucu”
Juni meminta Parish memotong pendek rambutnya sebahu, dan memberikan poni yang rapi. Juni teringat masa kecilnya, dia membawa potret diri dimasa kecil ditempelkan di pipinya.
“Persis bukan?”
Parish menangkup pipi gembul Juni. “Kakak sangat ingat ini, terlihat sangat mirip”
Sheon terus memuji bakat Parish dan juga Juni yang terlihat menggemaskan. “Juni jadi sangat bulat, Ibu takut kamu menggelinding, sayang”
Ketiganya tertawa, Namjoon mendengar hal itu langsung menghampiri ketiganya. Melihat apa yang mereka lakukan di pagi-pagi but aini, siap dengan jas rumah sakitnya. Hal pertama yang Namjoon temukan adalah wajah lucu Juni.
“Ayah lihat, Juni mirip dengan Juni usia 7 tahun”
Namjoon membenarkan kacamatanya, matanya bergerak naik turun untuk membandingkan keduanya. “Ya, ini sangat mirip. Siapa yang memotong rambut mu, rapi dan sangat pas untuk Juni”
Juni menoleh pada kaca, memainkan rambut bobnya. “Kakak yang memotongnya”
Namjoon menoleh pada Parish, ini pertamakali melihat gadis itu tersenyum. “Kamu berbakat, Parish” Mengusap pucuk kepalanya, Parish salah tingkah dengan afeksi barusan. Hanya mendiang Ibu yang melakukan hal demikian, dan kini dia dapat merasakannya dari sosok Ayah yang diperankan Namjoon.
“Oke sekarang saatnya kalian berdua bersiap, Ayah dan Ibu akan menanti dimeja makan ya”
“Baik Bu” Sahut keduanya serempak.
***
Kedua pria dengan handuk yang melindungi bagian bawah mereka baru saja keluar dari kamar mandi, keduanya begitu sibuk berkaca menyempurnakan gaya rambut yang padahal tidak ada perubahannya. Shaka membawa Kuki ke gendongannya, kini mereka saling memilihkan pakaian setiap paginya.
“Kuki mau Ayah pakai kemeja hitam dan celana warna coklat tua ini” Tangan kecil itu menunjuk beberapa pakaian.
Shaka terkesima. “O' Kuki pandai sekali memilihkan Ayah pakaian, terimakasih kawan”
Bibir mungil Kuki mengerucut, itu pertanda dia salah tingkah sekaligus bangga pada dirinya sendiri. “Sekarang giliran Ayah yang memilihkan baju Kuki”
Shaka mengangguk dengan hormat. “Baik, Tuan muda”
Kikikan geli itu mengedar ke sudut ruangan, terlihat tampak sangat nyaman keduanya. Bahkan burung-burung ikut tertawa mendengar candaan yang mereka saling lempar. Pilihan Shaka jatuh pada jeans overall dan kaos panjang putih bergaris-garis hitam, ini akan cocok pada Kuki.
“Oh Ayah juga akan memilihkan Kuki jaket ini, pagi ini sedikit dingin jadi Kuku harus pakai yang hangat”
“Terimakasih Ayah”
Keduanya dengan cepat berdandan, mereka berencana sarapan di luar. Itu sebab Shaka harus berkali-kali membangunkan Kuki pagi ini, dia jadi tak punya waktu untuk masak. Pagi pembawa berkah kalau kata Kuki, seseorang memencet bel rumah itu dan membawakan nasi dan lauk.
Rambut panjang yang dicepol rapi, dandan tipis dan aroma khas dari seorang Parish. Dress pink kasual yang sangat pas di tubuh kecilnya, membuat dua pria itu melongo menikmati pemandang pagi hari di ambang pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pathetic - Sunsun
Short StoryTerjebak pada ruangan hampa, seakan bila pintunya terbuka sedikit akan memperlihatkan kehancuran yang dapat menanam trauma. "Kenapa kamu datang disaat posisi kita sama, yang saya butuhkan bukanlah orang seperti kamu" Dia yang juga hancur datang mel...