10 Suara Keras

548 124 8
                                    

Rasanya baru kaki Kanaya menapak di teras kediamannya sendiri saat suara teriakan terdengar dari dalam rumah. Kanaya mematung, tidak lagi melanjutkan langkah kakinya. Kepalanya menunduk dan tubuhnya mulai bergetar. Teriakan saling bersautan dari dalam rumah terdengar jelas dan entah untuk yang keberapa kali dalam seminggu belakangan.

Kanaya benci mendengar suara keras ini.

Gadis itu memutar tubuhnya dan menyeret koper yang menyimpan pakaiannya selama tiga hari berada di Semarang, menjauhi tempat tinggal yang jarang sekali dianggapnya rumah. Kanaya terus berjalan hingga dirinya berada lagi di tepi jalan besar kota Jakarta Selatan. Kendaraan hilir-mudik walau tidak seramai pagi tadi.

Ponsel Kanaya bergetar, sebuah panggilan masuk dan nama kontak Kesayangan tertera di sana. Kanaya hanya mendiamkan, memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku dan melangkah menuju halte bus terdekat. Kanaya hanya duduk di sana, menundukkan kepala.

Beberapa jam berlalu tanpa melakukan apa pun dan saat gadis itu merasa lebih baik, dia beranjak kembali meninggalkan halte melangkah menuju ke tempat tinggal yang tak pernah sunyi dari teriakan-teriakan yang dibencinya.

Sesampainya di depan rumah, Kanaya disambut oleh sang Ibu yang tersenyum dan berkata telah menyediakan secangkir kopi di kamar Kanaya. Kanaya tak banyak berkata, toh malam semakin larut dan gadis itu memutuskan untuk masuk ke kamar, mengunci diri berusaha melupakan suara keras yang mungkin akan kembali didengarnya esok hari.

Mengabaikan beberapa panggilan tak terjawab dari sang kekasih.

***

'Van, maaf. Aku ketiduran semalam. Capek banget.'

Hal pertama yang dilakukan Kanaya setelah membuka mata di pukul lima pagi adalah mengirim pesan kepada sang kekasih yang semalam diabaikannya. Kanaya tidur cukup lelap, kamar akan selalu menjadi ruang kesukaannya meski terkadang kamar hotel terasa lebih nyaman.

Sebelum anggota keluarganya yang lain terbangun untuk memulai aktivitas, Kanaya pasti akan memilih untuk mandi terlebih dahulu dan bersiap. Kanaya memang berangkat pagi sekali dan mungkin tak akan ada yang tahu jika sesampainya di stasiun kereta yang akan membawanya ke kantor, gadis itu tidak langsung naik ke kereta tercepat. Dia hanya akan membiarkan beberapa kereta berangkat meninggalkannya sebelum akhirnya naik ke kereta sesuai jadwal yang telah dia perhitungkan waktu tempuhnya. Kanaya bisa saja datang lebih pagi, tapi tak ada alasan untuknya tiba lebih awal di kantor. Tiba tepat sesaat sebelum jam masuk lebih baik, setidaknya dia tak perlu lelah bertemu dan menyapa karyawan-karyawan yang datang lebih awal.

Jam masuk kantor Kanaya adalah pukul 07.30 dan Kanaya selalu tiba di lobi gedung pukul 07.25. Sampai di ruangan, setidaknya dia tidak memakan waktu lama untuk bersiap dan langsung efektif bekerja.

"Oleh-oleh mana, Nay?"

Kanaya baru duduk di mejanya saat suara Jessi terdengar ceria menyapa. Kanaya mengintip ke meja Jessi sekilas sebelum menggeleng. "Kak Candika yang beli, Jes. Belum datang dia? Katanya biar gak repot gue bawanya jadi, dia yang beli. Gue kan naik kereta."

Jessi tersenyum menggoda, gadis yang rajin menggunakan berbagai warna blazer dengan inner yang selalu hitam atau putih itu mengedipkan satu mata. "Iya, iya. Dibawain calon suami, ya? So sweet banget kalian berdua rasa bulan madu ke Semarang ya, kemarin."

Kanaya melotot. "Heh!"

Jessi tertawa dan mulai fokus melanjutkan kembali kegiatannya berdandan. Kanaya menggeleng-gelengkan kepala dan meletakkan tasnya di sisi kiri meja, mengeluarkan ponsel yang berada di dalam tas. Ada pesan balasan dari Ivander yang membuat Kanaya tersenyum tipis.

'Iya, Sayang. Capek banget ya kamu? Kerja gak? Aku udah di kantor.'

Kanaya membalas pesan yang sudah diterimanya sejak satu jam yang lalu itu yang berarti Ivander sudah berada di kantornya sejak pukul 06.30. Kedisiplinan Ivander memang tak bisa Kanaya ragukan, salah satu karyawan dengan dedikasi pekerjaan yang sangat tinggi.

'Capek banget. Aku kerja hari ini.'

Selang beberapa menit setelah balasan Kanaya, Ivander membalas pesannya.

'Semangat ya, Sayang. Pulang bareng? On time, ya? Jam 17.00. Aku tunggu di parkiran biasa.'

Kanaya menjawab singkat, mengiyakan ajakan Ivander sebelum mulai mengaktifkan laptop dan bekerja. Selang tiga puluh menit kemudian, Candika datang membawa sekardus berisikan oleh-oleh yang memang sempat mereka beli sebelum kembali ke Jakarta.

"Selamat pagi, Semuanya. Jangan lupa dihabiskan oleh-olehnya. Ibu Kanaya yang milihin langsung." Candika berujar jenaka dan Kanaya hanya menggeleng-gelengkan kepala.

Candika meletakkan kardus tersebut di atas meja dan melangkah menghampiri meja Kanaya, "Nay, laporannya mohon dibantu, ya."

Kanaya mengangguk. "Sore ini draftnya udah di meja, ya?"

Candika mengedipkan satu matanya. "Terbaik emang lo, deh, Nay. Gak ada lawan."

Setelahnya, Candika baru melangkah menuju ke mejanya dan ketika Kanaya menoleh asal, dia sudah mendapati kembali tatapan menggoda Jessi kepadanya.

***

Pertemuan diam-diam yang kembali terjadi. Tepat pukul 17.10, Kanaya sudah dapat bernapas lega karena mobil yang Ivander kendarai sudah melaju hendak meninggalkan area gedung kantor tempat mereka sama-sama bekerja. Kanaya yang tiba terlebih dahulu tadi, untungnya tidak bertemu dengan rekan kantornya. Selang lima menit, barulah Ivander muncul dengan senyuman lebar kepada Kanaya.

"Maaf, ya. Aku gak bawa apa-apa dari Semarang," Kanaya membuka bicara, setelah mobil Ivander melewati gerbang ke luar gedung.

Ivander mengernyitkan dahi. "Kapan aku minta oleh-oleh? Aku lihat kamu balik aja udah senang banget."

Kanaya tersenyum malu-malu, memukul pelan lengan Ivander. "Apa, sih, Van?"

Ivander terkekeh. "Serius. Aku pas kamu info mau ke Semarang, mana sama si Candika itu, aku gak bisa fokus kerja. Takut kamu direbut sama dia." Bibirnya mengerucut, menggemaskan.

"Kayak bocah kamu kalo mikir begitu."

Ivander mendengus. "Ya, takut loh. Kamu sekantor bahkan seruangan sama dia. Dia suka kamu, kelihatan banget. Terus tiba-tiba kalian dapat penugasan berdua, mana aku nguping kan waktu kalian ngobrol di elevator."

"Ih, nguping."

"Ya, gimana gak mau nguping? Kalian ngobrolnya keras, kok."

"Ya, kan bisa tutup telinga."

Mata Ivander memicing. "Mana bisa tutup telinga kalo pacar aku lagi ngobrol sama cowok lain yang punya potensi jadi perusak hubungan kita?"

Kanaya tertawa mendengar ucapan Ivander. "Apa, sih, kamu? Jadi dangdut gini omongannya?"

Ivander mendengus kembali. "Ya, takut loh."

"Takut apa, sih, Van?"

"Takut kamu direbut dia."

Kanaya memicingkan mata. "Ya, masa segampang itu aku berpaling ke dia? Dia aja udah jadi atasan aku bertahun-tahun, kalo aku berminat sama dia, aku sekarang sama dia gak sama kamu, Van."

"Ya, tetap aja takut."

"Lebay."

"Takut beneran, loh, aku. Ngerasa insecure gini. Padahal, dari sisi mana pun aku unggul dari dia. Tapi soal waktu bareng kamu, dia lebih unggul dari aku dan dia punya kuasa atas kamu selama jam kerja. Sedih kan."

Perjalanan pulang sore itu terasa lebih menenangkan batin Kanaya, sedikit melupakan masalah yang mungkin akan dihadapinya kembali sesampainya di rumah.

***

Catatan Penulis:
Happy Monday, Guys!
Hope you like this one!
Terima kasih masih berkenan membaca! :)

Love, A x
9 Mei 2022

Should I Stay?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang