11 Cemas

616 119 41
                                    

Seperti hari-hari yang pernah berlalu, Kanaya menghela napas melihat ponselnya beberapa kali. Sudah lima jam sejak pesan terakhir yang dia kirimkan kepada Ivander dan sang kekasih belum juga membalas. Kanaya tahu, kekasihnya itu pasti sibuk, tapi terkadang rasanya ingin balik memprotes. Ivander akan marah barang Kanaya mengabaikan pesannya dalam hitungan menit dan sekarang, pemuda itu menghilang dalam hitungan jam. Lebih tepatnya sejak pemuda itu membalas bahwa dia baru hendak berangkat ke kantor, kesiangan.

Jam istirahat telah berlalu, Kanaya sudah menghabiskan makanan yang dia pesan online sambil menunggu balasan pesan Ivander yang tak kunjung datang, sampai akhirnya suara heboh rekan sedivisinya seakan menjawab semua pertanyaan Kanaya.

"Gila, ya? Ivander ngebela Chikanya sampai begitu loh. Gebrak meja dan berantem. Keren banget, anjir, si Chika pasti kesenangan."

Kanaya menahan napas mendengar dua nama itu disebut, biasanya Kanaya tidak akan peduli dan memilih untuk tutup telinga, tapi dia tak tahan lagi untuk menanyakan apa yang terjadi pada Kesayangannya.

"Kenapa, Mbak Jes?" tanya Kanaya, mengulik.

Jessi menoleh kepada Kanaya, satu tangannya berkacak di pinggang. "Tadi di kantin. Si Chika kayak digodain sama cowok gitu, terus Ivander turun tangan dan sampai berantem mereka. Pukul-pukulan."

Mata Kanaya melotot, tubuhnya mulai bergetar. "Pukul-pukulan?"

Jessi mengangguk. "Gue gak tahu, sih, apa yang diomongin, tapi gedeg banget ya ampun gue lihat Chika di sana. Udah kayak diperebutin dua cowok, sok laku."

Kanaya mengerjap, sungguh rasanya ingin menangis. "Tapi gak apa-apa mereka?"

Jessi mengangguk lagi. "Kayaknya bonyok dikit, gue gak tahu. Langsung dipisahin. Ivander langsung pergi sama Chika ke ruangannya."

Tubuh Kanaya melemas, membayangkan bagaimana kondisi Ivander saat ini.

***

'Aku gak apa-apa, Sayang. Ada salah paham aja.'

Sebut Kanaya cengeng, tapi mungkin tidak ada yang tahu seberapa kalut gadis itu saat tahu sang kekasih berkelahi dengan orang lain dan tidak ada kabar dalam jangka waktu nyaris seharian. Kanaya sudah mengunci diri di kamar, menangis tersedu-sedu, dadanya sesak hanya karena mencemaskan kondisi Ivander.

Sudah puluhan pesan di kirimkan, sudah belasan panggilan Kanaya lakukan dan Ivander baru membalas pesannya pukul delapan malam. Di saat mata Kanaya sudah lelah menangis dan melupakan lelahnya itu hanya untuk mengetahui kabar Ivander.

Tanpa basa-basi, Kanaya melakukan panggilan dan kali ini, Ivander mengangkat panggilan tersebut dengan cepat.

"Selamat malam, Cantik."

Kanaya menggigit bibir bawahnya, cengeng sekali rasanya. Matanya sudah sangat berkaca-kaca sekarang. "Kamu kenapa? Kenapa gak ngabarin?"

"Aku gak apa-apa, Sayang. Gak ada luka serius. Baret dikit. Maaf bikin kamu cemas. Salah paham aja, gak kayak yang teman-teman kamu kasih tahu."

Kanaya menahan napas lagi. "Kenapa baru ngabarin?"

"Sayang, maafin aku. Aku gak sempat buka HP. Ini baru buka dan langsung balas pesan kamu."

"Aku lihat kamu online beberapa kali, Van."

"Aku balas klien aja, Sayang. Maafin aku, beneran. Bukan bermaksud gak balas pesan kamu."

Kanaya menarik napas panjang dan menundukkan kepala. Air mata menetes dari pelupuk matanya. "Kamu gak apa-apa?"

"Iya, Sayang. Ini aku gak apa-apa. Sebentar, aku kirim PAP ke kamu kondisi muka aku. Gak apa-ap, Sayang. Baret dikit banget udah pakai plester."

"Oke."

"Kamu marah?"

Kanaya menggigit bibir bawahnya. "Cuma bingung aja. Sebegitu susahnya kabarin aku? Kamu gak kabarin aku dari pagi, loh, Van. Sekalinya dapat kabar, malah dari orang lain dan kabarnya bukan kabar baik." Kanaya menahan napas, "Mana katanya kamu berantem sama orang karena perebutan Chika. Kamu bayangin gimana perasaan aku?" Tangis Kanaya kembali pecah dan Ivander terdiam di sana.

Sejujurnya, selama dua tahun mereka bersama, ini kali pertama Ivander mendengar Kanaya terisak dan tak menyangka akan seperti ini.

"Kamu marah kalau aku gak balas pesan kamu padahal juga kamu tahu aku gak bakal macam-macam. Terus dengan seenak hati, kamu sering ngilang kayak gini. Gosip kamu sama Chika juga gak pernah mereda. Sakit banget hati aku, Van. Sakit banget. Capek banget aku nahan semua ini sampai sekarang."

"Sayang, aku minta maaf aku gak bermak-,"

"Aku capek berusaha memaklumi semuanya terus, Van. Aku udah capek banget sama semua perasaan cemas berlebih aku ke kamu yang benar-benar gak peka sama sekali kalau hal-hal yang kamu lakuin sering nyakitin perasaan aku."

"Aku harus gimana, Ya? Kamu pikir aku juga gak tersiksa sama hubungan ini? Ya, aku udah paksa kamu berulang kali untuk jalin hubungan normal, pergi sebagai pasangan di publik? Tapi apa? Kamu gak mau, Ya. Aku serius akan hubungan kita, tapi apa? Kamu dan trust issues kamu menghambat semuanya. Aku harus gimana? Aku gak tahu."

Kanaya memejamkan mata, hening sesaat sebelum gadis itu membuat salah satu keputusan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

"Let's take a break."

***

Catatan Penulis:
Sudah mulai bosen nulis dan kehilangan ide wkwk
Doakeun semoga selalu muncul idenya.
Maaf kalo makin gaje yaa dan terima kasih yang masih berkenan membaca.

Love, A x
16 Mei 2022

Should I Stay?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang