04 Genggaman

554 152 51
                                    

Sabtu pagi ini, pukul delapan, Kanaya Faranisa terbangun dengan dua panggilan tidak terjawab dan beberapa pesan masuk dari kontak yang dia beri nama Kesayangan. Kanaya tidak langsung membaca pesan dari Ivander, tiba-tiba saja ingatannya melayang pada kejadian kemarin, saat dia menunggu berjam-jam hanya untuk mengetahui bahwa prianya malah pergi bersama teman-teman kantornya, tanpa menghubungi terlebih dahulu.

Tidak sekali dua kali Ivander seperti ini. Kanaya tidak paham, tapi terkadang dia merasa tidak diprioritaskan oleh Ivander, apalagi jika sudah menyangkut masalah pekerjaan. Padahal sudah dua tahun bersama dan hal seperti ini kembali terulang lagi, masih dengan rasa sakit yang sama.

Kanaya masih bertahan di ranjang tanpa berniat membuka pesan dari Ivander ketika ponselnya berdering. Kanaya kembali meraih ponselnya dan mendapati kontak Kesayangan muncul di sana, melakukan panggilan suara. Jari Kanaya tidak bergerak menggeser layar, mengangkat panggilan masuk dari Ivander tersebut hingga panggilan selesai. Namun tak lama, Ivander kembali melakukan panggilan dan selang beberapa saat, Kanaya kalah oleh perasaan tidak teganya untuk mengangkat panggilan dari Ivander tersebut.

"Selamat pagi, Sayang."

"Pagi," Kanaya menjawab, singkat dan datar.

"Ketiduran kamu semalam? Kok gak balas pesan aku lagi? Aku pulang malam banget, ngantuk, makanya nelepon, tapi kamunya gak angkat." Suara Ivander terdengar sedikit manja dan sungguh, tak terdengar ada penyesalan di nada bicaranya.

Kanaya diam sejenak memikirkan jawaban sebelum menjawab, "Iya, ketiduran. Kecapekan."

"Capek ngapain kamu? Disuruh lembur lagi?"

Capek nungguin kamu. Rasanya, Kanaya ingin berteriak mengatakan kalimat itu di wajah tampan Ivander, tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah kebohongan lanjutan dari kebohongan sebelumnya. Kanaya masih terjaga semalam saat Ivander menghubunginya, hanya saja dia terlalu kesal untuk mengangkat panggilan tersebut.

"Iya."

"Kamu hari ini ke mana?"

"Di rumah. Rebahan."

"Gak mau ketemu aku? Kangen, loh, aku." Suara Ivander terdengar membujuk.

Kanaya memejamkan mata berusaha memenangkan egonya di atas perasaan rindunya pada Ivander. "Enggak dulu, deh. Aku mager."

Helaan napas Ivander terdengar. "Kangen banget aku, Sayang."

"Kemarin ketemu, kan, di kantin."

"Ya ampun, cuma sebentar gitu emang cukup? Mau ketemu lama. Mau lihat muka kamu. Mau pegang tangan kamu. Mau ngobrol banyak sama kamu. Mau peluk kamu."

Kanaya mencoba memenangkan egonya lagi. "Gak bisa, aku capek banget dan butuh istirahat hari ini."

Sepertinya, Ivander lelah harus membujuk Kanaya bertemu dengannya tanpa paham apa yang sudah dia lakukan. "Oke, deh, kalo kamu belum mau ketemu. Kamu istirahat aja yang cukup. Aku di rumah juga aja hari ini."

"Iya." Kanaya merespon sangat singkat.

"Kamu lagi dapet, ya? Eh, tapi belum jadwal kamu. Kamu biasa awal bulan, kan?"

"Iya." Kanaya sudah malas memperpanjang obrolan dengan Ivander.

Ivander menghela napas. "Ya, udah. Kamu istirahat, deh. Aku mau rapihin taman depan rumah. Kalo mood kamu udah membaik, telepon aku, ya?"

"Iya."

"Semoga segera membaik, ya? I miss you, Yaya."

Tanpa membalas ucapan terakhir Ivander, Kanaya mengakhiri panggilan dan meletakkan ponsel di atas nakas, kemudian lanjut merebahkan tubuh dengan kepala yang masih penuh dengan rasa kesalnya dengan Ivander.

Should I Stay?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang