15 Lingkaran

1.1K 129 22
                                    

Lima belas menit awal sejak Ivander menekan pedal gas mobilnya berlalu begitu saja, tanpa adanya percakapan sama sekali. Ivander fokus pada jalanan kota Jakarta yang mulai sepi, hal yang sama dilakukan oleh Kanaya. Melihat jalan dari sisi kirinya, tak berani menegakkan kepala melihat ke depan apalagi menoleh ke sisi kanan.

Sejak Kanaya masuk ke mobil Ivander, aura pemuda itu sudah berbeda. Padahal AC mobil Ivander telah diatur paling tinggi, tapi rasanya jikapun AC mobil dimatikan, aura Ivander bisa membekukan seisi mobil. Kanaya tidak berani menegor, takut-takut salah bicara dan membuat segalanya semakin runyam.

"Udah makan?"

Napas Kanaya tercekat mendengar suara yang memecah keheningan mobil serta keributan di kepala. Sungguh, Kanaya tak berani menoleh sedikitpun ke arah Ivander. Seperti seseorang yang baru saja kepergok melakukan kesalahan fatal, meski Kanaya tidak sepenuhnya salah.

Kanaya memejamkan mata pasrah. "Udah."

"Makan apa?"

Kanaya benci mendengar suara dingin mengintimidasi Ivander yang seperti ini.

"Nasi goreng Kebun Sirih."

"Katanya gak suka kambing."

Kanaya menahan napas sekali lagi. "Pesan yang ayam."

Setelahnya, keheningan kembali menguasai. Hingga Ivander lagi-lagi memecah keheningan dengan pertanyaan-pertanyaan menusuk yang entah harus Kanaya jawab seperti apa.

"Katanya lembur Divisi. Sedivisi isinya kalian berdua doang?"

Kanaya menggigit bibir bawahnya gugup. "Yang lain udah balik. Sisa berdua."

"Gak pegang HP banget buat ngabarin? Kalau gak ketemu di elevator, kalian bakal pulang bareng?"

Mata Kanaya mengerjap. "Udah aku tolak dari awal dia ngajakin. Udah mau pesan Gojek."

"Yakin gak terima ajakannya aja buat pulang bareng?"

Akhirnya, Kanaya menoleh dan bertemu sekilas dengan iris kecokelatan Ivander sebelum fokus kembali menatap jalan. "Van, kita baru balikan."

Ivander mengangguk kecil. "Akhirnya aku tahu kenapa butuh waktu dua minggu buat kita balikan. You are so fine without me."

"Maksud kamu apa?"

Ivander tersenyum miring. "Masih gak paham maksud aku? Kamu yang jalanin hidup."

"Aku gak ada apa-apa sama Candika dan tadi untuk pertama kalinya kami lembur cuma berdua. Dia balik ke ruangan yang tersisa aku karena aku nunggu waktu kita ketemu dan aku gak punya pilihan lain selain bantu dia. Dia atasan aku, Ivander." Kanaya berusaha menjawab tenang, meskipun banyak kata yang dia tekankan.

"Ya. Terus aja beralasan."

Kanaya terdiam sejenak sebelum memejamkan mata. "Aku gak beralasan, aku jujur sama kamu."

Ivander mengangguk kecil. "Ya, lembur Divisi."

"Dia atasan aku, Ivander. Sekali lagi aku tekankan."

Perdebatan itu berakhir tanpa ada penyelesaian, bahkan hingga mobil Ivander terparkir di depan rumah Kanaya tak ada kalimat apa pun yang terucap dari bibir manis Ivander. Kanaya mengucap 'terima kasih', tidak mendapat balasan.

Mobil Ivander berlalu begitu saja, meninggalkan Kanaya yang masih bertahan di depan pagar rumahnya menyaksikan mobil itu menjauh. Mata gadis itu mulai berkaca-kaca dan entah dalam waktu berapa lama, air akan membasahi pipinya.

***

Dua hari berlalu sejak perdebatan tanpa ujung antara Kanaya dan Ivander. Dua minggu berperang dingin, sehari-dua hari berdamai dan kembali ke perang dingin yang entah kapan akan berakhir. Dua hari juga Kanaya mengajukan permohonan izin sakit karena memang nyatanya seburuk itu kondisi Kanaya.

Kurang tidur, pikiran yang tidak dapat dihentikan, nafsu makan yang berkurang. Opsi terbaik untuk tidak membiarkan banyak orang melihatnya di kondisi buruk ini.

Kanaya duduk di tepi ranjang, matanya menatap ke lantai kamarnya dengan kosong. Kemarin, seharian dia menangis dan hari ini, sepertinya air matanya telah kering. Dia tak kuasa lagi untuk menangis, sudah teramat lelah dengan semuanya.

Dari awal, memang hubungan mereka tak berjalan seperti kebanyakan. Mereka mengawali hubungan dengan penuh rasa cemas, rasa khawatir yang mungkin akan selalu menghantui hubungan keduanya. Kanaya sadar betul, tapi perasaannya kepada Ivander lebih dari apa pun.

Seperti pertengkaran-pertengkaran sebelumnya, dalam waktu dekat salah satu dari mereka akan mencari yang satu dan direntangkan tangan secara lebar untuk menerima kembali, memulai kembali sesuatu yang akan mengulang kejadian yang sama. Berputar pada lingkaran setan yang dinamakan perasaan, walau satu sama lain tidak bisa menjelaskan perasaan apa yang mereka miliki.

At the end of the day, it will always be them, going in circles where none could stop, but themselves.

---
Guys, I'm truly sorry. I can't continue write this one so, sorry about the ending. It stops here, okay?
Thank you untuk siapapun yang udah baca dari awal, thank you thank you❤️
I wanna be more productive this year, semoga. Doakan ada book baru yang bisa aku publish yaa, thank you❤️

15 Agustus 2022

Should I Stay?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang