Over Heels

30 15 6
                                    

"Baru bangun bocah."

Grama yang tengah menguap lebar itu menoleh ke asal suara. Dirinya mendengus begitu melihat keringat yang membasahi kaos tipis yang dikenakan Reza.

Tanpa berniat menjawab, Grama melenggang ke arah lemari pendingin, tetapi gerakannya kalah cepat dengan tangan besar yang menghalangi jalannya.

"Apa si, Za." Grama mendelik kesal, separuh dirinya belum terkumpul, langkahnya pun masih sempoyongan, dan orang di depannya ini sudah cari gara-gara saja. "Mau lo, apa si. Gue mau minum. Minggir!"

Sebotol air mineral menghalangi pandangan Grama. "Gak baik minum air es pagi hari."

"Ribet lo, ah," decak Grama menyambar botol air mineral itu dan berbalik ke ruang TV.

"Eh bocah jangan tidur lagi, lo kan kuliah pagi," teriak Reza dari arah dapur. Grama yang baru saja meluruskan punggung secara horizontal di atas sofa itu mencebik kesal. Sepertinya Reza terobsesi menjadi mamahnya, lihat saja lelaki itu yang kini berkacak pinggang memelototinya.

"Apa?" tantang Grama.

"Mandi! Abis itu buatin gue sarapan!" Dengan lihai Reza menurunkan kaki Grama, dan mendaratkan pantatnya di sana. "Jangan lupa KRS online diisi."

"Iya! Senior!" cibir Grama, "lo buat sarapan sendiri ya, atau beli aja. Gue belum siapin apa-apa buat kuliah."

Tanpa menunggu jawaban Reza, Grama menaiki tangga menuju kamarnya. Hari ini dia diharuskan datang lebih awal dari jadwal karena masih harus mengambil jas almamater yang seharusnya dia ambil saat ospek diadakan.

"Bareng gue aja berangkatnya."

Grama yang tengah menjejalkan notebook ke dalam tasnya itu menoleh sekilas. Namun, tak ayal menghentikan langkahnya.

"Lo gak ada keharusan buat anter gue kuliah Za."

"Gu...."

"Tapi kalau lo maksa, ya udah," potong Grama.

Reza mendelik, tak sampai sedetik tawanya pecah juga. "Asik juga lo."

Grama mengangkat bahunya. Menunggu Reza mengenakan jaket bomber dan helm full face-nya sembari memasukan ponselnya yang sengaja dia mati daya.

"Ayo."

Melangkah mengikuti Reza, dan membonceng di motor besarnya bukan pertama kali untuk Grama, gadis itu tidak tampak terganggu meski Reza seperti sengaja mengendarai motornya seperti kebelet pipis.

Sampai di parkiran, Grama sedikit sempoyongan. Bagaimana pun dia tidak terbiasa naik motor, meski bukan pertama kali tetap saja memberi efek yang masih sama. Lulutnya masih lemas, apalagi sepanjang jalan dia mencoba tenang meski tertekan dengan cara Reza berkendara di jalan.

"Buset bocah, abis tawuran di mana hahaha."

Pelakunya tertawa puas, sampai beberapa orang menoleh ke arah mereka.

Reza sampai terkantuk sepion motor lain saat menghampiri Grama. "Kasian banget bocah," ejeknya.

Merasa tidak dihiraukan, tawa usilnya reda diganti raut khawatir. Tanpa banyak berpikir, Reza ikut berjongkok di depan Grama.

"Gram, lo gak papa?"

Gadis itu menatap lurus ke arahnya, ekspresinya datar, meski wajahnya pias, dengan rambut acak-acakan.

Tangan Reza terulur merapikan, sampai selesai pun Grama hanya diam. Menambah kekhawatiran Reza dan setitik perasaan menyesal muncul ke permukaan. 

"Za, gue masih Maba."

Reza mengernyit tidak paham arah pembicaraan Grama.

"Lo kalau mau mati sama temen lo aja Za, gue muda."

Reza mengerjap mencoba memproses perkataan Grama, sesaat kemudian lelaki itu berdecak keras menyentil dahi Grama. "Ngaco aja bocah!" Lelaki itu lantas berdiri menjulang di depan Grama.

"Bangun, udah penuh tuh," cela Reza yang mendapat desisan dari Grama. Lelaki itu terkekeh menanggapinya.

Setelah bangun, Grama melempar tatapan tajam. Gadis itu mencebik kesal sebelum mendatarkan ekspresinya.

"Perlu gue temenin gak?" tanya Reza begitu keduanya berjalan di lorong penghubung parkiran dan gedung fakultas.

"Gak."

Reza menunduk, terkekeh kecil dengan seringai gelinya. "Dih, marah bocah."

Keduanya berpisah ketika Reza berbelok melintasi lapangan menuju fakultas ekonomi, tempat dirinya mencari ilmu di bidang akuntansi.

Grama menyelesaikan urusannya sebelum memasuki kelas. Tidak ada yang spesial karena Minggu pertama memang masih dijadwalkan sebagai masa pengenalan di kelas, pembagian silabus, dan tugas yang ternyata diberikan di awal masa perkuliahan.

"Kita sekelompok, nanti bagi tugas di grup WA aja ya."

Grama mengangguk ketika gadis yang diketahuinya bernama Ela itu berlalu dari hadapannya.

Kelas masih ramai begitu Grama meraih tas, dan menjadi manusia kedua yang keluar setelah dosennya.

Dapat dia lihat dosen yang tadi mengisi kelasnya itu dicegat beberapa mahasiswa yang tidak dikenalnya. Grama pun tidak ambil pusing memilih jalan lain. Matanya awas melihat beberapa orang berlalu lalang, bisa dia lihat sosok yang belakangan berseliweran di rumahnya tengah berbincang dengan segerombolan lelaki.

Sekilas Grama melihat salah satu di antara mereka menatap ke arahnya, sesaat sebelum Reza menoleh dan memutar tubuhnya menghadap ke arah jalan yang dilewati Grama.

Semakin dekat, Grama semakin jelas melihat Reza melempar seringai ke arahnya. Bukannya geer, tetapi hanya dia yang kebetulan harus melewati gerombolan lelaki depan koprasi fakultasnya itu.

Alih-alih menyapa, Grama memilih tak acuh membuang muka. Dia sengaja mengedarkan pandangannya seolah-olah tidak melihat perubahan raut wajah Reza. Kepalanya lantas menunduk begitu melewati gerombolan itu, pegangan tangannya pada tali tas mengerat seiring kepalanya terangkat.

"Grama!"

Seseorang meneriaki namanya, disusul rangkulan di bahunya yang membuat Grama menoleh cepat melihat siapa pelakunya.

"Hai Bunda."

Masih ingat, Adip? Ya, lelaki bermata sipit itu pelakunya. Temannya Reza yang Grama ingat sebagai manusia pecicilan itu dengan senyum yang tidak pernah surut dari wajahnya itu kini nyengir lebar tanpa berniat melepaskan rangkulan.

Memutar arah jalan Grama, menyeretnya ke depan Reza.

"Guys, dia namanya Grama, Maba Piaud, cewek yang gue ceritain." Tanpa diminta Adip mengenalkan Grama pada teman-temannya. Lelaki itu terus berceloteh, membicarakan Grama seolah perempuan itu tidak ada di sana.

Grama memasang wajah datar meski tangannya gemetar, dari ekor matanya dapat dia lihat Reza yang tengah menatapnya.

"Jadi dia pacar keduanya Reza."

Celetukan itu mengalihkan atensi semuanya termasuk Grama yang sedari tadi belum membuka suara.

"Bukan! Dia Bundanya," timpal Adip, "ya kan Gram?" Dengan senyum lebarnya Adip mengedipkan mata, meminta Grama mengiyakan perkataannya.

Jelas kelakukannya itu mengundang tawa, terkecuali Grama dan Reza yang saling melempar tatapan dengan raut datar.

"Pulang?"

Suara Reza berhasil menghentikan tawa teman-temannya. Bahkan rangkulan Adip pun terlepas dari bahu Grama. Lelaki sipit itu nyengir, menyingkir. Tanpa suara lelaki itu mengucapkan, "Ngeri." Dengan gerakan bibir.

Rent Room✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang