AT S(H)IT

29 7 10
                                    

Reza berdecak begitu melihat penampakan Grama yang baru keluar dari kamar.

Sungguh tidak sedap dipandang dan membuat jiwa julid Reza meradang. Lelaki yang telah rapi dengan kemeja hitam dan celana chino hitam itu berkacak pinggang.

"Sepenglihatan gue temen-temen jurusan lo, rapi-rapi Gram," sindir Reza cari perkara.

Grama yang tengah mencepol rambutnya asal itu menoleh sekilas lalu melewati Reza yang masih berdiri di samping anak tangga. Gadis itu tidak terusik sama sekali. Malas menimpali.

"Di jurusan gue apalagi, cantik-cantik Gram."

"Oh." Grama tak acuh.

"Ya mata gue sepet liat lo Gram, bibir pucet, muka pucet, gak ada yang mau deket sama lo baru nyaho."

"Oh lo punya mata," tanggap Grama dengan pedasnya.

Reza mengulum bibir meredam emosinya. Kakinya mengentak persis anak kecil jika diabaikan ibunya.

Lelaki itu berbalik menuju kamarnya.

Bodo amat! Grama sukses merusak mood-nya.

Di tengah keramaian acara class meeting di kampusnya, Grama memilih duduk di depan ruang kaprodi yang bersebelahan dengan anak tangga. Matanya tertuju pada sosok Reza yang entah kenapa bisa ada di posisi kipper dengan postur tubuh tingginya. Jelas saja tampak mencolok di antara anggota lainnya.

Musik menjadi pengiring acara class meeting, di sela-sela teriakan para pendukung yang berjajar tak jauh dari sisi lapangan.

Norak, satu kata itu lah yang digaungkan kepala Grama. Gadis itu menarik tudung hoodie yang dipakainya, menutup kepala sampai batas matanya.

Seharusnya ini menjadi momen berharga bagi Grama, karena setiap kejadian belum tentu dapat terulang di hidupnya. Contohnya, keberadaannya kali ini di depan ruang kaprodi yang bukan tanpa alasan.

Grama memilih menyerah.

Meski isi kepalanya mencela acara yang tengah terselenggara, tetapi Grama tidak dapat menahan kepalanya yang bergerak sesuai irama lagu yang tengah di putar mengisi seluruh penjuru fakultasnya.

Tak di sangka, susah dua semester dia lewati di kampus ini.

"Grama, lo di sini?"

Mendengar suara seseorang yang cukup familiar, Grama mengangkat kepalanya. Menatap lurus gadis cantik berkacamata yang dikenalnya sebagai pacar Reza, Ana. Gadis yang siang kemarin sukses membuat Grama bernostalgia dengan menyaksikan drama india di mana sepasang kekasih saling berkejaran.

Ana tersenyum begitu tak salah mengenali Grama. Gadis itu duduk di samping Grama. "Panas-panas gini kamu di sini," komentar pertama yang Grama tanggapi dengan senyum tipis. Ana memang selalu ramah. Poin plus yang patut Reza syukuri, karena Grama merasa Ana terlalu bagus untuk lelaki yang hampir setahun tinggal dengannya itu.

"Aku ke sini mau ambil kartu pembayaran, kemarin sebelum UAS dikumpulkan sama Kosma." Tanpa diminta Ana menjelaskan maksud keberadaannya. Kali ini Grama mengangguk, belum berniat buka suara.

Setelah percakapan singkat yang didominasi oleh Ana, gadis berkacamata itu pamit setelah mengambil kartu pembayaran sesuai tujuan awalnya.

Baru saja Grama melangkah, jalannya sudah kembali dihalangi.

"Bocah, lo liat gue kan tadi."

"Gimana Bun, gue kece kan tadi?"

Menghela napas, Grama menatap kedua makhluk di depannya dengan malas. "Gue gak nonton."

"Bohong, jelas-jelas gue sempat liat lo natap gue tadi." Reza sangat yakin tadi Grama menonton pertandingan sepak bola yang baru dimenangkan timnya.

"Bisa minggir dulu gak? Gue ada urusan Za." Grama tampak malas berbasa-basi dengan keduanya. Bahkan Adip mengerjap, memberi jalan pada Grama.

"Udah lah bos, kita cabut, bunda lagi ada urusan kayaknya sama dosennya, mending lo kasih makan gue dulu, lapar ini anak lo," cerocos Adip menahan langkah Reza yang ingin menyusul Grama.

"Najis banget gue punya anak kayak lo!" sentak Reza, yang tidak diambil hati oleh lelaki yang sudah menobatkan dirinya sebagai sahabat sehidup semati Reza itu.

Pada akhirnya keduanya pun memilih meninggal ruang kaprodi, dan melangkah mendekati tim mereka.

Rent Room✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang