"Saya—Grama, Kak. Jurusan PG PAUD, Kakak kenal saya?"
Memang dasarnya Grama itu keterlaluan, baru saja jadi Maba sudah cari perkara. Lihat saja ekspresi laki-laki yang memakai jas almamater di depannya. Sudah tidak bisa dijelaskan lagi betapa kecutnya.
"Saya mentor kamu," ujar laki-laki itu singkat sebelum kembali memusatkan atensinya pada beberapa Maba selain Grama.
Bukannya merasa bersalah karena telah datang terlambat, Grama justru memasang wajah tak acuh sambil garuk-garuk kepala. Dalam benaknya dia merutuk, kenapa juga kegiatan ospek ini harus diadakan.
Tak sampai di sana, sepanjang mentornya bercakap-cakap Grama justru asyik sendiri dengan dunianya, apalagi jika bukan tulisan-tulisan tidak jelasnya.
"Mohon perhatiannya, dan hargai orang yang tengah berbicara di depan."
Grama langsung celingukan, sadar betul itu merupakan sindiran. Dengan wajah kesal gadis yang terkenal tomboi itu menyilangkan kaki kanannya seolah menantang. "Boleh dilanjutkan, Kak," ujar Grama, merasakan beberapa tatapan tak suka yang dilayangkan padanya. Apa pedulinya? Hah! Tidak! Selagi masih ada ponsel, Grama bisa baik-baik saja tanpa ada satu orang pun yang menyukainya.
Namun, sial karena selama acara ospek itu dirinya benar-benar tidak punya teman. Grama merenggut dalam diam dia mengutuk ponselnya yang tampak membosankan. Suasana hatinya diperparah dengan hujan yang turun tidak henti-hentinya membuat seluruh Maba terpaksa berdiam diri di aula. Tak cukup sampai di sana rupa-rupanya kegiatan ospek yang seharusnya hanya diisi dengan pemaparan materi pun kini berganti dengan lomba-lomba yang mengharuskan Grama berkumpul dengan kelompoknya.
"Pada hapal, kan, yel-yelnya?" Suara sang mentor membuat Grama yang tadinya celingukan melihat kelompok lain langsung menghadap ke depan.
"Yel-yel?" gumam Grama, yang ternyata cukup membuat anggota kelompoknya menatap ke arahnya dengan pandangan heran.
"Kemarin malam kak mentor kasih referensi yel-yel. Kita semua udah sepakat pake yel-yel itu." Seorang gadis cantik berkacamata di samping Grama berkata entah pada siapa, karena matanya tak lepas dari sang mentor yang kini tampak geram dengan Grama. Loh, salahnya apa? Batin Grama.
"Kita? Gue enggak ngerasa bilang setuju." Kini Grama angkat suara, memutar bola mata saat semua anggota kelompoknya menatap tak suka padanya.
"Masih cukup waktu buat kamu menghafal." Lagi, suara yang Grama cap menyebalkan itu memasuki gendang telinganya.
"Oh." Hanya itu yang Grama ucapkan sebelum menghidupkan ponselnya, dan mengabaikan semua orang yang berada di sekelilingnya.
Meski begitu telinganya masih berfungsi, dan mendengar sendiri bahwa anggota lainnya mulai latihan bersama diselingi tawa mereka. Entahlah, lucunya di mana? Grama sendiri merasa mengantuk melihat sederet kata-kata untuk yel-yel mereka. Jangankan menang, Grama jamin kelompok mereka pasti ditertawakan.
Namun, salah. Siapa sangka kelompok mereka malah jadi juara pertama lomba yel-yel. Semuanya tertawa senang, kecuali Grama tentu saja.
"Gak nyangka ya, menang juga."
"Iya padahal gak persiapan yang gimana-gimana juga."
Dalam hati Grama mencibir, gak persiapan, tapi sampai VC-an dengan dalih latihan. Kenapa Grama bisa tahu? Karena dia melihat riwayat panggilannya, dan tadi pagi grup kelompoknya ramai sehingga Grama malas membacanya siapa sangka dia terpaksa membuka grup itu dan menemukan fakta mengejutkan. Hah, mentor sialan!
Entah kenapa Grama merasa kesal dengan mentornya itu. Padahal namanya saja Grama lupa, dan tak berniat mengingatnya juga.
"Grama ikut gak ngopi?"
Sedikit tersentak, Grama hanya tersenyum tipis pada gadis berkacamata yang diketahuinya bernama Ana.
"Grama gak ikut?" Ana kembali bertanya memastikan.
Menghela napas panjang, dan sedikit mencuri pandang pada orang-orang sekitar, Grama menggelengkan kepalanya. "Gue gak konsumsi kopi, sorry."
"Di sana masih ada menu lain selain yang terbuat dari kopi."
Grama mendongak, sedikit menyeringai kala melihat tatapan datar dari mentornya. "Thanks, gue pulang aja."
Merasa tatapan dari sebelahnya, Grama menoleh, dan menemukan raut kecewa di wajah Ana. Grama sedikit tersentuh jadinya. "Lain kali kita jalan Na, mau gak?" tawar Grama yang disambut antusias oleh Ana.
Setelah itu hanya ada acara foto-foto bersama satu angkatan sebelum pulang. Grama tidak begitu antusias seperti yang lainnya. Bahkan tanpa basa-basi setelah acara selesai Grama langsung menghentikan angkutan umum yang melewati gerbang kampus tempatnya menimba ilmu.
Pulang ke rumah, lagi-lagi disambut keadaan sunyi seperti biasanya. Grama beranjak menuju dapur, dan termenung. Selalu seperti itu. Nyatanya hidupnya tidak seperti apa yang dia tuliskan dalam ceritanya.
Sekarang pun Grama tengah kebingungan memenuhi kebutuhan. Tabungannya hanya cukup untuk membayar semesteran, sedangkan untuk jajan Grama harus memutar otak untuk mencari peluang.
"Gak mungkin gue minta duit sama orang tua lagi, malu lah udah gede."
Begitulah perang batin Grama dimulai. Anak satu-satunya, harapan orang tua, tidak ingin terus menjadi beban keluarga. Namun, karena tidak mendapat solusi yang memuaskan akhirnya Grama memilih rebahan. Siapa sangka memejamkan mata pun tak menghentikan perdebatan yang terjadi di dalam kepalanya. Justru semakin membuat kepalanya berdenyut menyakitkan kala pemikiran, 'kalau belum bisa membahagiakan orang tua setidaknya jangan menyusahkan orang tua' terngiang-ngiang terus di benaknya.
Akhirnya Grama bangkit dari tidurnya, dan mencari loker di G yang bisa membantunya.
Dengan emosi yang tak bisa Grama tahan, gadis itu berkata nyaris berteriak, "Ok G, cara agar cepat kaya tanpa modal kecuali punya rumah."
Dan muncullah ....
Sewa kamar?
Wait?
What?
Grama mengucek matanya. Takut jika penglihatannya bermasalah.
Kembali dia mengeja sederet kata yang paling atas di pencariannya.
Sewa kamar jadi sultan.
Grama tidak salah baca, kan ya.
Maksudnya apa nih? Otak Grama loading seketika. Maklum kalau pikirannya ke mana-mana, sudah tua.
Tak ingin berlama-lama salah paham dengan pikirannya, Grama pun menekan layar ponselnya tepat pada tulisan itu berada. Dan ....
"Oh ...." Grama mengelus dada. Sedikit tertawa kala menyadari pikiran jeleknya.
"Malu-maluin aja nih otak," decak Grama masih dengan senyum gelinya.
"Ok juga nih, gue coba." Grama lantas ngacir ke dalam kamarnya, dan mempersiapkan semuanya .....
Hayooooo Grama comeback. Kangen gak kangen gak, kangen lah masa enggak, wkwkwk.
Oiya ... hati-hati baca cerita ini ya, soalnya memuat ... memuat apa hayooooo, wkwkwk
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Rent Room✅
Historia CortaGrama menyayangkan keputusannya yang mengakibatkan dirinya harus berbagi rumah dengan seorang Reza--senior di kampusnya. Pertengkaran mewarnai kehidupannya, hingga tanpa diduga keduanya berakhir di atas takdir yang 'orang lain' sebut indah.