Aware

32 13 8
                                    

"Lain kali jangan diem aja."

"Lo juga diem aja."

"Siapa duluan yang pura-pura enggak kenal?"

Grama bungkam. Setelah Reza angkat suara, lelaki itu memerintahkan Grama untuk mengikutinya. Grama yang tidak punya pilihan pun terpaksa berjalan menyusul Reza yang tidak berniat memelankan langkahnya.

"Lo gak punya temen apa gimana?"

Di tengah ramainya kendaraan, Grama menoleh ke arah spion. Melihat Reza yang melempar pertanyaan padanya.

"Gak ada."

"Dih bocah, gak punya temen beneran tau rasa." Reza sangsi akan jawaban cuek Grama itu.

Grama mengangkat bahunya. "Emang gak ada."

"Gak asik lo, bocah."

Grama tak ambil pusing, dia mengakui bahwa dirinya bukan tipikal orang yang pantas diperhitungkan menjadi seorang teman. Jika pun Grama menjadi orang lain, dan bertemu manusia sejenisnya, dia tidak akan memilihnya menjadi temannya.

"Gue gak ada kegiatan abis ini."

Grama yang berjalan di depan Reza itu menoleh menaikkan sebelah alisnya.

Reza mendengkus, menarik rambut Grama yang bergoyang seolah mengejeknya. "Temenin gue curhat!"

Tidak menolak, Grama mengambil duduk di sofa terdekat. Dia tidak membuka suara, memilih Reza berbicara duluan padanya.

"Bokan nyokap gue cerai." Reza menatap Grama, melihat reaksi tak berarti perempuan itu yang membalas tatapannya.

Reza menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya, dan kembali berujar, "Gue gak ada rumah, ya kali gue milih salah satu di antara mereka."

"Itu alasan lo sewa kamar?" tanya Grama, dibalas anggukan mantap dari Reza.

"Jodoh kali, ya," celetuk Reza dengan seringainya.

Grama mengernyit jijik. "Apaan."

Terkekeh, Reza menegakkan tubuhnya. "Ya kita, jodoh."

Grama bergidik, bangkit. "Gak usah ngaco!"

"Mau ke mana lo?" Reza bertanya begitu Grama menaiki anak tangga.

"Ngambil laptop, gue ada tugas."

Tak lama Grama kembali ke ruang TV dengan menenteng laptop di tangan kirinya.

Melirik Reza yang kini berbaring dengan ponsel dalam genggamannya. Grama memilih lesehan di lantai.

Awalnya memang berniat mengerjakan tugas, tetapi sesaat layar laptopnya menyala setelah diaktifkan, tangannya justru membuka laman aplikasi tempatnya membuat cerita.

Tanpa bisa ditahan, wajahnya berangsur gusar, dibarengi gerakan tangannya yang mengacak rambut asal.

"Kenapa lo?"

Grama mendongakkan kepalanya. Sedikit meringis begitu menyadari kelakukannya. Dengan tidak minat tangannya menekan kembali ke layar utama.

"Susah tugasnya?" Lagi, Reza bertanya.

Grama menggelengkan kepalanya. "Bukan, gue lagi kesel aja."

"Sama tugas?"

Lagi-lagi geleng kepala.

Reza yang gemas lantas menghampiri Grama dan duduk di sampingnya. "Coba gue liat."

Melihat wallpaper laptop Grama, Reza tertawa. "Njir Gram, lo alay juga."

"Ish!" Grama menarik laptopnya menjauh dari Reza. "Itu temen gue yang ganti."

Memang benar, fotonya yang menjadi wallpaper itu dipasang Lesta—seseorang yang dulu dekat dengannya.

Masih dengan tawanya, Reza mengejek Grama dengan sangsi, "tapi lo gak ganti."

Seolah tersadar, Reza menunduk menatap Grama. "Eh, bocah. Katanya lo gak punya temen."

Grama mengangkat bahunya tak acuh. "Berisik lo, Za."

"Dih." Reza kembali merapat melihat apa yang tengah dikerjakan Grama dengan laptopnya. "Tugas apaan si emang."

"Makalah."

Reza mengangguk paham. "Tau kan cara buatnya? Perlu gue bantu? Jangan copy punya orang Gram."

Grama mendesis. "Iya," geramnya.

Reza tertawa mengacak rambut Grama. "Judes banget lo, bocah." Lelaki jangkung itu berdiri dan duduk di sofa tepat di belakang Grama. "Gue awasin, siapa tau aja lo comot makalah orang."

Rent Room✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang