Bagi sebagian orang berpacaran adalah sesuatu keharusan, tidak menampik Grama pun memiliki keinginan untuk menjalin hubungan. Seperti malam ini, tiba-tiba keinginannya untuk memiliki seseorang itu hadir menggebu nyaris membuat Grama kehilangan kontrolnya.
Bukan hal baru, itu selalu terjadi pada Grama. Gadis lajang sepertinya memang sangat rawan pada jam-jam malam.
Mencoba terlelap pun tak bisa, pada akhirnya Grama lelah juga harus menatap langit-langit kamarnya dan memilih beranjak menyambar ponsel dan laptopnya.
Sesekali gadis itu menguap, meski kantuk menyerangnya, tetapi matanya tak ingin terpejam.
Memutar playlist musiknya, Grama mulai mengutak-atik laptop lama yang kini berada di atas pangkuannya. Jam menujukkan pukul dua belas malam ketika seseorang menuruni anak tangga, tanpa menoleh pun Grama tau itu Reza.
"Lagi apa lo bocah? Jaga lilin?" tanya Reza sebelum berlalu ke lemari pendingin.
Tak lama lelaki itu kembali dengan segelas air dingin di tangannya. Dengan sengaja menutupi pandangan Grama untuk melihat apa yang tengah gadis itu kerjakan sampai mendapat tarikan cukup kencang di rambutnya.
"Akh! Sakit Gram!" pekik Reza melotot ngeri menjauhkan diri.
"Lo ngalangin gue bego!"
Semakin membulat lah mata Reza mendapat makian dari Grama. "Lo tuh yang bego!" seru Reza tak terima. "Ngapain coba malem-malem stel musik kenceng banget! Gue kan jadi kebangun!"
Grama menoleh dengan tatapan datarnya. "Lo bahkan baru pulang Za."
Reza nyengir, membenarkan, tidak mungkin jika dirinya tidur secepat itu. Dengan santai tangannya menjulur ke belakang tubuh Grama yang tidak bersandar pada badan sofa. "Oh, jadi lo belum tidur lagi nungguin gue pulang Gram, bilang dong, duh berasa punya istri nih gue."
"Sarap!" Grama berdecak.
Reza tergelak. "Jangan gitu ah Gram, jadi istri kedua gue baru nyaho loh," ujarnya besar kepala.
"Emang manusia sinting itu lo, Za." Grama mengetik sesuatu di laptopnya, pergerakannya itu tak luput dari pandangan Reza.
"Buset Gram, lo nulis cerita erotic?" tanya Reza setengah memekik, lelaki itu tampaknya belum puas mengganggu Grama.
"Erotic kepala lo dua! Ini fiksi remaja, Za. Gak usah cari ribut sama gue ya!" peringat Grama yang ditanggapi kikikan dari sebelahnya.
"Gue mau jadi tokoh utamanya dong Gram." Reza menenggak air dari gelas yang dibawanya, sebelum menyamakan diri bersandar pada lengan sofa. Posisinya kali ini menghadap sempurna ke arah Grama.
Hening menyapa keduanya, di tengah-tengah suara Aness yang melantunkan lagu sun and moon, di sela suara tarian jari Grama di atas keyboard laptopnya.
Di tengah keremangan malam itu, wajah Grama yang mendapat sinar dari laptopnya sanggup membuat Reza menarik sudut bibirnya.
Di hari pertama pertemuan mereka, Reza memang cukup tertarik dengan setiap ekspresi yang keluar dari raut wajah gadis yang duduk tak begitu jauh darinya itu.
Merasa ditatap terus menerus, Grama menoleh, sejenak keduanya saling pandang, sampai Grama kembali menatap baris kata yang berhasil dia keluarkan dari benaknya, "Kenapa?" tanyanya.
Reza terkekeh, "Kenapa apanya?" ujarnya balik bertanya.
Tak mendapat tanggapan Reza berujar, "Lo menarik Gram." Secepat pergerakan jari jemari Grama yang terhenti, secepat itu juga raut serius Reza berganti raut menyebalkannya ketika Grama menoleh padanya, "tapi jomlo kan," lanjut Reza dengan nada mengejeknya.
"Lo seremin si Gram, selama gue tinggal di sini juga gak pernah gue liat cowo lo datang," jelas Reza.
Grama yang kembali menatap laptopnya, hanya menghela napas panjang. "Kenapa lo mau jadi tokoh utama, Za?"
Reza menaikkan sebelah alisnya. Tidak menduga Grama akan bertanya alih-alih menanggapi perkataannya sebelumnya.
Meski begitu Reza mengikutinya.
"Ya, keren. Kayak gue gitu ya, gak?" ujar Reza diakhiri tanya.
"Enggak."
"Dih! Ntar gue bantu promosi Gram, atau lo mau apa deh? Gue kasih," tawar Reza.
"Gue selalu gagal mertahanin orang yang gue tulis, seolah ceritain mereka otomatis gue jadiin mereka sekedar kenangan."
Reza terdiam. Menatap sisi wajah Grama seolah dia berusaha menembus pikiran gadis itu. Namun, gagal.
Grama pun tidak menjelaskan, gadis itu justru menutup laptopnya.
Sebelum Grama beranjak, Reza berujar, "Gue gak paham." Reza mendongak, posisi Grama sekarang memang susah berdiri siap melangkah meninggalkannya. "Kenapa lo setertutup ini Gram," Reza menjeda, tatapannya tak lepas dari sisi wajah Grama, seiring pandangannya menangkap tangan gadis itu yang mengepal, Reza kembali melanjutkan, "gue udah tinggal sama lo hampir setengah tahun, tapi gue gak pernah liat temen lo Gram, meskipun itu satu orang. Gue jarang banget liat lo senyum Gram, gue gak tau apa yang lo pikirin sampai lo nyaris ngabisin tiap malam lo sama laptop kesayangan lo itu."
Reza bisa melihat genggaman tangan Grama pada laptop bernuansa biru gelap itu mengerat. "Seenggaknya lo punya gue sekarang Gram."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rent Room✅
Short StoryGrama menyayangkan keputusannya yang mengakibatkan dirinya harus berbagi rumah dengan seorang Reza--senior di kampusnya. Pertengkaran mewarnai kehidupannya, hingga tanpa diduga keduanya berakhir di atas takdir yang 'orang lain' sebut indah.