H - 14

221 27 3
                                    

Kota XX - 07.00

"Masih ada waktu beberapa hari untuk kamu berpikir ulang, Gi. I won't force you. Saya sayang sama kamu.." 

"Kenapa akhirnya keluar kata-kata itu, Mas?"

"Saya cuma bilang, saya kasih kesempatan kamu kalau kamu berubah pikiran. But I hope you stay."

"Mas tahu jawaban saya nggak akan pernah berubah!" 

Piiip..

Ini masih pukul tujuh di pagi hari, matahari pun masih dalam perjalanannya untuk menuju titik tertinggi di atas langit, namun, kedua insan yang sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan itu justru sudah memanas. Tiba-tiba saja Gianno ingin menelpon Mas tunangannya itu, memastikan tunangannya pulang dengan selamat semalam karena pesta lajang yang dibuat oleh rekan kerja tunangannya. 

Semalam Gianno tak sempat menanyakan kabar karena kantuk tak dapat ditahan, Merwyn yang izin pulang terlambat juga tidak berinisiatif memberinya kabar bahwa ia sudah sampai apartemen dengan selamat. 

Tidak ada nada amarah saat suara Gianno menyapa gendang telinga Merwyn melalui sambungan telpon. Gianno menanyakan dengan nada selembut mungkin karena khawatir akan keadaan calon suaminya itu. Merwyn yang memang mabuk dan terbangun oleh suara dering ponsel merasa terganggu hingga akhirnya mereka beradu argumen.

Lagi-lagi, dalam masa menuju hari-H pernikahan pasti ada saja rintangannya. Salah satunya adalah komunikasi. Entah mengapa komunikasi Gianno dan Merwyn belakangan ini semakin buruk. Keduanya semakin disibukkan dengan pekerjaan masing-masing, ini karena keduanya sepakat mengambil cuti dua minggu setelah menikah untuk bulan madu

Selain itu, Merwyn sudah jarang mengantar calon suaminya itu pulang kerumah karena memang mereka sedang tidak boleh saling bertemu. Akan tetapi, itu bukanlah sebuah alasan untuk akhirnya saling menghindar dan merenggang, kan?

"Berantem?" tanya Bunda Gianno dengan nada selembut mungkin. Takut-takut anaknya semakin tidak mood.

Dua anggukan kecil Gianno berikan, ia lalu menatap wajah Bundanya. Wajahnya ia buat sedatar mungkin tapi sangat kentara bahwa ia ingin menangis dan memeluk Bunda, "Saya kesal sama Mas Merwyn, Bun."

Bunda Gianno berusaha menenangkan anaknya, mengusap bahu Gianno perlahan dan mencium bahu anak semata wayangnya itu, "Kamu sama Merwyn lagi banyak sekali pikiran, ditambah sebentar lagi pernikahan kalian. Perasaan semua jadi satu. Senang, takut, gugup, excited, ya kan?"

Kembali Gianno anggukan kepalanya lalu ia mengusap wajahnya perlahan, "Bun, saya sayang sama Mas Merwyn. Komunikasi kita berdua jadi jelek banget akhir-akhir ini."

"Kamu sadar komunikasi kalian jelek, kenapa nggak coba dibicarakan, Sayang?" Bunda Gianno mencoba mencari solusi terbaik untuk anaknya itu.

"Tadi saya coba telpon nanya kabar, Mas Merwyn malah bilang kalau saya berubah pikiran bisa dibatalkan.....," Gianno menjeda kalimatnya. Terdengar suaranya bergetar tanda ia menahan emosi dan tangisnya.

"Ssssh, Merwyn lagi emosi saja, Gi. He loves you, I know it." Bunda Gianno memeluk anaknya untuk menenangkan, malah membuat Gianno akhirnya menangis sejadi-jadinya.

"Tapi kenapa harus bilang gitu, Bun?" tanya si manis sambil menghapus jejak air mata di pipinya.

"Boleh Bunda yang coba bicara sama Merwyn?" 


----------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Bunda, saya cuma bicara seperti itu. Nggak ada maksud lain, sungguh. Bun, saya sangat sayang sama Gianno. Bunda, boleh saya ke rumah?"

"Bunda paham nak Merwyn, tapi nggak bisa sekarang datang kesini ya. Kita ikutin peraturan adat, Bunda nggak mau ada apa-apa nanti.."

Hujan di Malam MingguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang