Xandriana Violin

5 6 0
                                    

Hidup di keluarga terpandang membuatnya harus selalu tampil sempurna. Sejak kecil, gadis ini sudah dituntut menjadi nomor satu di setiap hal. Tidak jarang orangtuanya akan memukulnya dengan rotan, mencambuknya dengan sabuk, atau bahkan mengurungnya jika dia gagal barang sekali.

"Tidak salah dia juara satu, orang tua nya 'kan anggota dewan. Sudah pasti uangnya banyak dan mudah sekali menyogok sekolah." Namun itulah yang dikatakan orang-orang. Meski dia mati-matian belajar, tidak ada yang menghargainya.

Tepat hari ini adalah seminggu lagi menjelang ujian kelulusannya dari sekolah menengah pertama. Jadi, selepas pulang sekolah ia pergi ke tempat les nya dan selesai tepat pukul sembilan malam. Meski ia lahir sebagai anak dengan sendok emas, namun tetap orangtuanya tidak memberi fasilitas yang mewah. Jadi disinilah dia; menunggu bis di halte yang sudah sepi.

Gemuruh petir menghiasi langit malam itu, dan tak lama kemudian hujan mulai turun. "Hujan.." Ia bergunam, mulutnya melengkung sempurna keatas dengan jari kecilnya yang sesekali menyentuh hujan. Hujan adalah favoritnya!

Namun sial sekali, bis yang ia tunggu tak kunjung datang, serta handphone yang ia pegang sudah mati kehabisan daya. Dan yang lebih sial, pria tua setengah mabuk menghampirinya. Tanpa tahu diri pria itu menjamah tubuh Riana. Riana mencoba berteriak namun tiba-tiba suaranya menghilang, tubuhnya kaku tanpa bisa melakukan apa-apa, ia dilanda serangan panik. Malam itu, di umurnya yang baru lima belas tahun, ia kehilangan keperawanan nya. Dan ia hanya bisa terdiam dengan mulut menganga dan mata yang tak henti mengeluarkan air mata. Ia menatap langit dengan pandangan sendu bercampur marah, mulai detik itu ia akan membenci hujan.

Orang yang paling Riana benci dalam hidupnya adalah orang tuanya sendiri. Bagaimana bisa orang tuanya memarahi ia sesaat setelah gadis itu bercerita bahwa ia dilecehkan. "Apa yang kau lakukan?!!! Kau merusak nama baik keluarga kita, jangan pernah coba untuk memberitahu siapapun atau aku akan membunuhmu! Anak sialan, kau benar-benar menyusahkan."

Apa yang salah dengannya, kenapa orang tuanya memarahinya? Kenapa orang tuanya berkata bahwa ia merusak nama baik keluarga mereka? Ini bukanlah hal yang ia inginkan. Tapi kenapa...semua orang memojokkannya. Perkataan orang tuanya selalu terngiang dalam kepalanya, menciptakan rasa tidak percaya diri yang begitu besar. Ia berubah menjadi penyendiri dan tidak punya teman.

Enam tahun berlalu. Meski sudah beranjak dewasa, namun rasa takut itu masih tetap ada; terutama saat hujan. Seperti sekarang, berjongkok di halte rumah sakit tempat ia bekerja. Pria tua itu selalu muncul dalam bayangannya, mengintainya dalam gelap malam dan derasnya hujan. Dan tepat ketika seseorang menyentuh pundaknya, ia tidak bisa untuk tidak berteriak. Tidak lagi, batinnya.

"Kau baik-baik saja?" Tidak. Namun yang ia lakukan adalah mengangguk pelan, tidak ingin siapapun tau sisi lemahnya. "Hujan sangat deras sekarang, tidak tau kapan berhenti. Sulit untuk mencari taksi ataupun bis, kau bisa menumpang di mobilku. Bagaimana?" Dan Riana dengan cepat mengangguk --walau sedikit ragu-- sebab ia harus segera pulang; meminum obatnya dan menenangkan dirinya. Jika tidak, orang-orang akan mulai berpikir bahwa ia tidak waras. Dan Riana juga tidak tahu, bahaya apa yang akan mengintainya di halte sepi penghuni ini jika tidak segera pulang.

Sedikit demi sedikit, hari demi hari, Riana mulai mengenal Jonathan lebih jauh. Dia adalah lelaki yang baik, Riana akui itu. Tidak ada alasan untuk menolak Jonathan saat lelaki itu menyatakan perasaannya.

Hari-hari mereka lewati dengan penuh asmara membara. Mereka berangkat dan pulang kerja bersama hampir tiap hari, dan di jadwal senggang seperti sekarang mereka akan pergi keluar untuk berkencan. Hari ini mereka memilih untuk berkencan di bioskop, pilihan mereka jatuh pada salah satu film romansa yang tengah naik daun.

Tepat saat sang pemeran utama pria mencium wanitanya, Riana buru-buru mengalihkan pandangannya. Tatapan matanya jatuh pada Jonathan yang juga sedang menatapnya dengan intens. Ruangan yang temaram mendukung segalanya, perlahan Jonathan mulai mendekatkan wajahnya pada Riana. Namun sedetik sebelum belah bibir keduanya menyatu, Riana lebih dulu memalingkan wajahnya, matanya kembali fokus pada film dan terlihat tidak peduli. Disampingnya, Jonathan mendesah kecewa. Dan lagi, Riana merasa bersalah atas itu.

Jonathan adalah lelaki yang sempurna, dan itulah masalahnya. Sebab Riana adalah kaca yang pecah. Dia cacat, dan tidak ada cara untuk memperbaikinya. Akhir-akhir ini, rasa tidak percaya diri semakin menggerogoti dirinya. Dia sadar, dia tidak pantas atas Jonathan. Namun setalah semua yang mereka lewati bersama, bagaimana bisa Riana melepaskan Jonathan begitu saja?

Pondasi dari sebuah hubungan adalah kepercayaan, namun Jonathan dan Riana tidak memiliki itu. Bagaimana bisa Jonathan mempercayai Riana jika gadis itu saja masih tidak bisa terbuka kepadanya, gadis itu tidak percaya padanya.

Sepuluh bulan hubungan mereka berlalu, dan semuanya menjadi semakin buruk sesaat setelah Riana pindah dari rumah sakit yang ditempati Jonathan. Mereka menjadi semakin jauh, baik jarak maupun rasa. Terkadang Riana melewatkan jadwal kencan mereka karena sibuk bekerja, tanpa tau bahwa Jonathan mulai memupuk rasa kecewa.

Siang ini, saat jadwalnya sedang senggang, Riana mendatangi Jonathan dengan membawa bekal makan siang. Berharap bahwa ia bisa memperbaiki segalanya. Senyumnya merekah saat ia melihat pintu dengan ukiran 'Ahli Bedah - dr. Jonathan Pratama'. Belum sempat ia membuka kenop pintu, samar-samar ia mendengar percakapan didalam ruangan itu.

"Berhenti memaksaku, kau tau aku memiliki Riana. Aku sangat mencintainya." Hati Riana menghangat mendengarnya.

"Apa yang Riana miliki dan aku tidak? Aku bisa memberimu apa saja, kau bisa katakan apa yang kau inginkan." Riana mendengarnya dengan jelas, lalu ia menyadari bahwa suara wanita didalam adalah suara Shava. Siapa yang tidak mengenalinya? Gadis cantik dan pintar sekaligus anak dari direktur rumah sakit ini. Dengan begitu, ia mulai membandingkan dirinya sendiri dengan Shava, gadis itu sempurna, benar-benar cocok dengan Jonathan. Ia tersenyum miris sebelum akhirnya berbalik menuju pintu keluar, tidak ingin lagi mendengar apa yang kedua orang itu bicarakan didalam.

Lagi-lagi, ia harus menekankan pada dirinya sendiri; bahwa ia tidak pantas untuk Jonathan.

orchidaceae Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang