🌺🌺🌺
"Kau s'lalu berlagak tegar dengan tak menunjukkan tangisanmu. Meski kau pun takut, agar tak kehilangan tiap hal yang penting bagimu. Kau sampai berlari dalam keputusasaan"
(Lovers by Seven Oops)
🌺🌺🌺Wajah sembab dan terlihat khawatir itu sedikit berlari memasuki ruang UGD. Langkah kaki yang menggambarkan kegelisahan, kecemasan sekaligus ketakutan. Kaki itu berhenti di depan seorang guru dan dua orang bapak-bapak.
"Pak, Lara bagaimana?" kata seorang ibu sambil tersedu-sedu.
"Baik, tenang dulu ya, Bu Tantri. Lara, InsyaAllah baik-baik saja. Mari kita duduk dulu. Mari, Pak Heru," kata laki-laki yang merupakan guru Lara tersebut.
Setelah semuanya duduk, pak Wahyu dibantu dua bapak yang bersama beliau menceritakan kejadian kecelakaan Lara. Beliau bercerita dari awal sampai tindakan yang ingin dokter ambil.
"Operasi ya, Pak?" tanya pak Heru memastikan. Pak Wahyu hanya mengangguk.
"Kalau itu bisa membuat putri kami sembuh dan harus segera dilakukan operasi, tidak apa-apa, Pak," imbuh bu Tantri.
Akhirnya setelah melunasi administrasi dan menemui pihak rumah sakit terkait penanganan Lara, tindakan operasi pun rencananya akan dilaksanakan esok hari.
Pak Wahyu meminta izin pulang terlebih dahulu untuk mengantar dua bapak yang sedari tadi siang sudah menemaninya membawa Lara ke rumah sakit.
"Pak, Bu. Saya izin pamit terlebih dahulu, nanti kalau misalkan operasinya sudah selesai atau ada hal yang ingin disampaikan bisa telpon saya ya," ucap pak Wahyu.
"Baik, Pak. Terima kasih sudah membawa Lara ke rumah sakit bersama Pak Umar dan Pak Sawijo," jawab bu Tantri.
"Makasih ya Pak Wahyu, Pak Umar, dan Pak Sawijo. Maaf kalau dari tadi sudah banyak merepotkan," sambung pak Heru.
Setelah berpamitan, pak Wahyu pun lantas pulang dan mengantar kedua bapak yang menemaninya ke rumah masing-masing. Pak Wahyu kemudian kembali ke sekolah untuk mengunci motornya di sekolah. Ia pulang dengan mengendarai mobil kepala sekolah. Hal tersebut tentu sudah dengan seizin kepala sekolah langsung.
***
Pagi ini, Lara dipersiapkan menuju ruang operasi. Satu jam, dua jam. Bapak dan ibu Lara masih terus menunggu dokter keluar dari ruang operasi. Mondar-mandir diiringi rasa khawatir.Lara, sebagai anak semata wayang merupakan harta yang tak ternilai bagi orang tuanya. Tidak bisa digantikan dengan apapun. Lara harus sehat, bagaimana pun caranya. Lara juga harus menjadi orang sukses yang membanggakan orang tua kelak, bagaimana pun konsekuensinya.
Setegas itu prinsip bu Tantri dan pak Heru pada Lara. Sedikit kesalahan adalah cacat yang harus segera diperbaiki. Kedisiplinan mutlak tanpa boleh ada keluhan dan tangisan.
Sebuah konsep keluarga yang ideal sebenarnya, mengingat orang tua Lara adalah orang yang cukup terpandang di desanya. Jadi, segala penilaian dari tetangga dekat harus merupakan penilaian yang positif dan memuaskan.
Pintu operasi di buka. Dokter keluar. Orang tua Lara lalu berdiri mematung sebelum akhirnya mendekati dokter.
"Alhamdulillah, operasi berjalan lancar, pen juga sudah dipasang dengan baik. Tinggal menunggu masa pemulihan ya, Pak, Bu. Saya harap mbaknya tidak melakukan aktivitas yang berat-berat dulu, nanti pakai kursi roda biar aman." kata dokter yang benar-benar melegakan hati kedua orang tua Lara.
Setelah itu, orang tua Lara langsung memasuki ruangan. Terlihat Lara yang sedang menutup mata, tidak sadarkan diri.
***
Pagi itu di sekolah tepatnya di kelas V, terjadi keributan kecil. Ditambah desas-desus tidak jelas."Lara, kemarin kecelakaan!" kata salah seorang teman Lara.
"Iya, katanya patah tulang! Kejadiannya pas mau menyeberang jalan nggak, sih?" imbuh yang lain.
"Iya, kan kemarin Lara pingsan juga pas upacara. Mungkin pas mau menyeberang jalan, dia pingsan lagi," ucap yang lain.
"Lagian sudah tahu sakit, malah keluyuran. Kan kemarin dia nggak langsung pulang. Aku lihat dia malah ke lapangan. Ngapain coba?" sahut yang lain dengan nada agak sinis.
"Iya juga, bener sih. Harusnya kalau sakit, ya langsung pulang. Malah jalan-jalan. Aneh!" kata teman sekelas Lara yang lain.
Erik, Dimas dan Sarah yang berada di luar ruang kelas sambil makan mie goreng dan minum es teh hanya saling diam. Mereka sedang berbicara dengan fikiran masing-masing. Sampai akhirnya, Erik memecahkan keheningan itu.
"Nanti jenguk Lara, mau?" kata Erik.
"Rumah sakitnya jauh, Rik, kemarin aku habis ke sana sama orang tuaku. Kalau cuma kita, pasti nggak bakal diizinkan sama orang-orang dewasa, sama orang tua kita apalagi," jawab Sarah.
"Iya, benar kata Sarah. Kita jenguk pas sudah pulang saja," imbuh Dimas membenarkan kata-kata Sarah.
Saat Safira lewat, tiba-tiba tangannya dipegang oleh Sarah. Berniat untuk bertanya kronologi yang sebenarnya, ditengah simpang siur kelas.
Safira, orang yang ditanyai mencoba melepaskan tangannya dan membuang muka, "Aku nggak tahu!" katanya agak ketus, lalu pergi begitu saja. Erik, Dimas, dan Sarah saling menatap satu dengan yang lain.
"Dia kenapa, sih? Ditanya baik-baik lho padahal," kata Sarah.
"Nggak tahu. Marah sama kamu mungkin, tadi kamu kan pinjem pulpen dia dan belum kamu kembalikan," jawab Erik.
"Enak aja! Siapa yang minjem!" ujar Sarah, mengelak. Karena dia tidak merasa meminjam apapun dari Safira. Erik yang menjawab asal-asalan hanya terkekeh.
***
Ruangan rawat inap itu lengang, sunyi dan damai. Setelah dari ruang operasi dan Lara sadar, ia pun dipindahkan ke ruang rawat inap.Mata Lara berkedip-kedip merasakan suasana sekitar. Pahanya terasa sedikit nyeri. Bu Tantri yang sedari tadi berada di sampingnya meminta Lara untuk segera meminum obat pereda nyeri serta antibiotik yang ada di meja.
"Ra, makan dulu biar kamu punya tenaga," kata ibu dengan nada datar. Lara terdiam.
"Disini jangan nakal-nakal, nurut sama orang tua ya," imbuh bapak kepada Lara. Kemudian, Lara makan disuapi ibunya.
Mata Lara sedikit berair. Aku tahu, sebenarnya Ibu sama Bapak itu sayang banget sama aku, batin Lara.
Lara pun mengucek matanya agar tidak dikira menangis. Tidak, dia tidak akan menunjukkan hal seperti itu kepada orang tuanya.
***
Tiga hari setelah rawat inap pasca operasi Lara sudah diizinkan dokter untuk pulang dengan catatan melakukan kontrol ke rumah sakit sepekan setelah kepulangan. Saat sampai rumah, Lara pun kegiatannya hanya di tempat tidur, kamar mandi dan kursi roda. Meski begitu, dia mencoba menjalaninya dengan tenang. Setidaknya tidak ada pandangan mata maupun kata-kata yang membuatnya sedih."Assalamualaikum," sapa seorang anak kecil laki-laki di rumah Lara.
"Waalaikumussalam, temannya Lara ya. Oh, Bu Guru. Mari masuk rumah. Mohon maaf jika sedikit berantakan rumahnya," kata ibu Lara kepada seorang guru.
Lara pun menemui teman-teman dan gurunya dengan kursi roda. Dia melihat Sarah, Erik, Dimas, wali kelasnya dan beberapa teman yang lain.
"Kami di sini ingin silaturahmi sekaligus menengok dan mendoakan mbak Lara, Bu," kata wali kelas Lara tersebut. Lara mencari-cari sosok Safira dan teman sebangkunya. Tidak ada. Mungkin mereka sedang ada acara, ujar Lara mencoba menyenangkan hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[IM]PERFECT
General Fiction- tentang trauma, cita, cinta dan air mata - balas dendam terbaik adalah menjadikan diri lebih baik