13. Dua Mata Pisau

6 1 0
                                    

🍡🍡🍡
"Kita selalu bertanya pada diri sendiri tentang kekhawatiran dan kebimbangan. Tak ada satupun jawaban yang benar, teruslah mencari dengan berani. Meski kau tidak bisa melakukannya sekarang, jangan stress jangan menyerah. Percayalah pada dirimu sendiri dan melangkahlah dengan kecepatanmu sendiri."
(My Answer by Seamo)
🍡🍡🍡

Es goreng rasanya emang keren! ucap Lara dalam hati. Dia menikmati paginya di gazebo lapangan. Suasana sejuk, damai dan tenang dari bisingnya bentakan dan tatapan-tatapan yang tidak jelas datang.

Lara merasa surga dunia sangat dekat dengannya pagi itu. Hm, biasanya kalau aku merasakan perasaan yang luar biasa bahagia, nanti bakalan ada yang membuatku sedih. Duh! ucapnya dalam hati.

Lara kemudian menarik nafas dalam. Huft, sudah lah! Nikmati aja, jangan difikirkan! sambung Lara mencoba mengusir ribuan kata yang terus mengoceh di fikirannya.

KRIIIING... KRIIIING... KRIIIING... Bel masuk kelas berbunyi begitu nyaring.

"Lha kok cepet banget masuknya?" tukas Lara, kaget. Ia segera menghabiskan sisa es potong dan buru-buru menuju ruang kelas.

Langkah Lara yang kini masih agak timpang memang membuatnya merasa agak kesulitan.

Sampai di pintu perbatasan antara lapangan dengan sekolah, Lara tersandung sesuatu. Kaki?

Lara ternyata tidak tersandung, melainkan disandung. Siapa? Oh, ternyata Safira.

Lara tersungkur, lututnya terbaret sedikit berdarah. "Itu pembalasanku dulu! Karena kamu sudah mendorong Rio sampai jatuh dan nangis!" kata Safira lalu meninggalkan Lara begitu saja.

Lara gemetar, menangis. Tidak kuasa membalas, lidahnya kaku. Mungkin juga karena lelah berlari jadi tidak ada tenaga untuk meladeni. Setelah dia membersihkan roknya, kedua kakinya merasakan sensasi agak perih. Mungkin karena baretan tadi.

Lara berdiri dan menuju kelas. Sesampainya di kelas, Lara beruntung karena belum ada guru yang memasuki ruangan. Ia pun segera menyiapkan buku dan mencoba melupakan kejadian tadi.

Kenapa aku selemah ini? Kenapa aku selalu memikirkan hal-hal seperti ini? pertanyaan-pertanyaan itu kembali berkecambuk dalam hatinya.

Lara memandang Sarah, ingin cerita. Namun dia mengurungkan niatnya. Sarah terlihat sibuk persiapan olimpiade. Aku tidak mau mengganggunya dulu, ucapnya lagi.

"Eh, Ra. Kamu kapan datang?" tanya Sarah agak kaget. "tahu-tahu sudah duduk, nggak lihat kamu jalan ke sini tadi," imbuhnya. Bahkan Sarah tidak menyadari kehadiran Lara.

Lara menghela nafas. Bagaimana pun juga, dia harus mengejar Sarah. Setidaknya satu hari dia harus memiliki kemajuan.

Lara lalu berfikir bahwa dia harus segera berhenti memikirkan hal bodoh semacam ini. Dia tidak boleh hanyut dengan perasaannya. Asal Sarah disampingku, itu lebih dari cukup, ucap Lara dalam hati.

***
Saat jam istirahat, Lara yang sedang berjalan menuju kantin sendirian, melihat Safira memasuki toilet. Setelah Safira masuk ke toilet, Lara tiba-tiba menuju ke arah toilet yang dimasuki Sarah. Ia mendekati pintu dan menguncinya dari luar kemudian bergegas pergi.

Beberapa saat setelah Safira selesai buang hajat, ia mencoba keluar pintu. Naasnya, pintu tidak bisa dibuka.

"Aku, terkunci dari luar kah?" kata Safira tiba-tiba.

Mata Safira berkaca-kaca dan lututnya mulai gemetar. Dia dengan suara parau sedikit gemetar mulai menggedor-gedor pintu sambil berkata, "Siapa di luar, tolong buka pintunyaaa!"

Suasana saat itu memang sudah sepi karena jam istirahat sudah selesai.

Safira benar-benar panik, bagaimana kalau aku akan terkunci sampai besok? fikirnya. Pasti ini, Lara! Awas kamu! imbuhnya dalam hati. Ia kembali menggedor-gedor pintu dan teriak minta tolong sambil menangis.

KLIK. Tiba-tiba pintu dibuka.

Berdiri seorang ibu yang Safira kenal. Bu Murtini, ibu kantin di sekolahnya. Tangis Safira mulai mereda.

"Lha kok bisa terkunci di toilet, Mbak?" tanya bu Murtini, heran.

"Saya dikunci teman saya, Bu." Jawabnya sambil masih sesenggukan.

"Kok tega banget. Lha berani masuk kelas nggak?" tanya bu Murtini lagi. Safira hanya menganggukkan kepala. Ia lalu meninggalkan bu Murtini dan bergegas menuju ke kelas.

Sesampainya di pintu masuk, Safira bersyukur karena belum ada guru. Namun teman-temannya terlihat sedang mencatat sesuatu. Sepertinya banyak guru yang sedang sibuk di kantor.

Safira langsung melihat tajam ke arah Lara yang terlihat sedang menulis tugas. Ia duduk seorang diri. Nampaknya, Sarah sedang bimbingan olimpiade.

BRAKKK!!! Safira menggebrak meja Lara.

"Kamu kan yang mengunci aku di toilet!" kata Safira dengan nada membentak.

Lara yang baru sadar dihampiri Safira, merasa kaget dan gemetar. Dalam sekejap, anak-anak berkumpul mengelilingi Lara dan Safira.

"Lho kamu asal nuduh aku?" jawab Laras dengan nada yang tidak kalah tinggi. "Iya lah! Siapa lagi kalau bukan kamu!" bentak Safira.

Dimas yang merasa terganggu dengan pemandangan itu lantas menuju ke arah Lara dan membelakanginya. Sambil menatap Safira, Dimas berkata, "Punya bukti apa Safira?"

Ditanyai ketua kelas seperti itu, Safira lantas kembali ke tempat duduknya dengan wajah bersungut-sungut. Saat di tempat duduk, dia kembali berkata dengan lantang, "Lara itu kelihatannya baik di depan orang, tapi di belakangnya jahat!"

DEG! Lara kembali gemetar.

Dimas melihat ke arah Lara dan mengatakan, "Udah nggak usah difikirin," ucap Dimas mencoba menenangkan.

Sebelum kembali ke tempat duduknya, Dimas meminta anak-anak kelas untuk kembali mengerjakan tugas. Lara tidak merasa bersalah, dia merasakan perasaan lain yang menggelayuti hatinya. Tapi, dia juga tidak mengerti perasaan apa itu.

***
Sampai rumah, Lara lalu mengganti baju sekolahnya. Ibu datang dari arah dapur, rupanya beliau sudah pulang dari pasar.

Melihat ada luka di lutut Lara, ibu lantas berkata dengan nada yang agak tinggi, "Jatuh lagi? Kamu itu sebenarnya kenapa sih, Ra? Disuruh hati-hati saja susah! Kalau kamu sakit, nanti yang repot siapa kalau bukan bapak sama ibumu ini? Sana! beli plester buat nutup lukamu! Jadi anak kok pecicilan, nggak bisa diam!"

Kenapa aku tadi nggak beli plester sekalian di sekolah? Ah! Dimarahi lagi kan, jadinya! sesal Lara dalam hati.

Lara malas bercerita. Baginya, bercerita hanya akan memperpanjang daftar masalah. Mau cerita pun rasanya percuma.

Marahnya orang tua adalah sebab mereka kahwatir, namun pada satu kesempatan kadang Lara berfikir Apakah mereka benar-benar khawatir lalu mereka meluapkannya dengan gertakan? Apa dengan begitu khawatir mereka jadi mereda? Namun, mengapa rasa takut dan khawatir bahkan benci itu pindah padaku? Semakin dia menyelami fikirannya, semakin dia tidak mengerti.

[IM]PERFECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang