👒👒👒
"Kau berkata 'jika ada cahaya maka ada bayangan.' Aku tak dapat melupakan suaramu di hari itu. Berharap ingin menjadi kuat. Jari yang memadamkan lilin. Mengingat kehidupan dalam panasnya api. Bagian inti diriku pun terbuka."
(Guren by DOES)
👒👒👒Sore hari itu semburat matahari yang bersinar menuju temaram, membubarkan anak-anak yang bermain. Teman bermain satu desanya pulang terlebih dahulu. Lara, masih setia di tiang ayunan. Dia merenung, tentang apa yang baru saja dikatakan oleh teman-temannya tadi.
"Eh, katanya mau ada lomba 17 Agustusan. Aku mau ikut fashion show¹ ah!" ucap perempuan yang rambutnya diberi bando dengan percaya diri.
"Aku juga, aku juga..." seru yang lain.
"Aku mau ikut lomba baca iqro'!" kata anak-anak lain tak mau ketinggalan.
Lara hanya memperhatikan mereka. Dia berencana ikut lomba juga. Fashion show¹, sepertinya keren! Aku akan tunjukkan pesonaku, hihi... seloroh Lara dalam hati.
Setelah senyum-senyum sendiri di tiang ayunan, terdengar sayup suara azan maghrib. Lara pun memutuskan untuk pulang. Saat perjalanan menuju rumah, Lara terus memikirkan baju apa yang kiranya cocok dia kenakan saat lomba 17 Agustusan nanti.
"Ra, mampir dulu ke rumah. Bawakan sayur ini buat Ibu!" teriak nenek Lara dari seberang jalan.
"Oh iya, Nek!" jawab Lara.Lara kemudian menyeberang jalan untuk menghampiri rumah sederhana milik neneknya. Kebetulan, keluarga besar Lara ada dalam satu desa. Jadi, ketika lebaran mudik tidak perlu persiapan waktu dan biaya banyak. Hanya perlu motoran atau jalan kaki bersama-sama.
"Eh, Bulik!" sapa Lara kepada buliknya yang sedang membuat kerajinan tangan.
"Waah, buat apa itu, Bulik?" sambung Lara penasaran sambil menatap jarum dan pernak-pernik yang ada di tangan buliknya tersebut.
"Bulik lagi memayet. Ada pesanan dari orang, lumayan uangnya bisa buat jajan, Ra," sahut bulik.
Saat mengamati pekerjaan bulik, tiba-tiba Lara teringat baju biru miliknya. Pasti bagus kalau baju biruku dipayet seperti ini. Bisa kugunakan untuk kostum fashion show¹ku nanti, ucap Lara dalam hati.
"Bulik, Bulik! Bulik tahu kan kalau sebentar lagi ada lomba 17 Agustusan?" tanya Lara.
"Iya tahu, Ra. Kamu besok mau ikut lomba apa?" kata bulik.
"Em... Lara pingin ikut lomba fashion show¹. Besok lihat pas Lara tampil ya!" seru Lara.
"Kamu sudah tahu baju yang mau dipakai? Kalau kamu mau biar bajunya tambah cantik, besok bisa Bulik tambahkan payet," ujar bulik masih sibuk dengan pekerjaannya.
"Eh? Serius Bulik? Yes! Besok bajunya Lara bawa kesini ya! Horeee!" jawab Lara dengan penuh semangat.
Setelah beberapa waktu, nenek keluar membawa rantang kecil berisi sayur sop. "Ini tolong kasihkan Ibu ya, Ra," ucap nenek menyerahkan rantang kecilnya. "Makasih, Nek. Sudah maghrib Lara izin pamit, assalamualaikum," salam Lara kemudian ke luar dari rumah nenek.
***
"Assalamualaikum," sapa Lara saat memasuki rumahnya."Dari mana saja! Jam segini baru pulang! Tahu jam main nggak! Kenapa kamu selalu membuat Ibu marah, Ra! Sudah besar, harusnya kamu sudah faham!" bentak ibu sambil menyilangkan tangannya di dada.
"Ini ada sayur dari Nenek," kata Lara yang tiba-tiba lesu. "Mandi dulu sana, main nggak tahu waktu!" imbuh ibu dengan nada bicara agak meninggi dan judes.
Setelah membersihkan diri, Lara termenung. Mood²nya untuk memilih baju yang akan ia gunakan fashion show¹ hilang. Dia beringsut ke kasur. Tatapannya kosong dan buyar. Lara pun tertidur.
Saat larut malam, Lara dibangunkan ibunya. Masih dalam keadaan mengantuk, Lara diminta untuk duduk.
"Ra! kalung kamu mana?" kata ibu sambil mencari kalung di leher Lara. Mendengar ibu berkata demikian, dengan malas Lara mencoba meraba lehernya. Lara kaget. Eh! Kok nggak ada? Kemana? Mati aku! kata Lara dalam hati, menghilangkan kantuknya seketika.
Lara memandang ibunya dengan hati agak gemetar. Pasti setelah ini, aku dimarahi habis-habisan! pungkas Lara dalam hati. Siap menerima konsekuensi alias pasrah, begitu fikirnya.
Benar saja, ibu malam itu tak mau berbicara pada Lara. Pertanyaan yang diajukan Lara, tak digubris sama sekali. Lara mencoba kembali tidur, berharap besok ibunya sudah memaafkan Lara dan mau berbicara lagi dengannya.
***
Pagi itu, Lara merasa kasur seperti magnet yang menahannya untuk pergi kemana-mana. Tubuh dan kepalanya terasa berat. Namun dia tetap berusaha bangkit cuci muka.Ibu masih judes dan tidak berkata apa-apa. Seingat Lara, sebelum ibunya pergi bekerja Lara diminta untuk mencari kalung emas miliknya lagi.
"Ra, hari ini kamu nggak sekolah?" tanya ayah Lara. "Nggak, Pak. Libur." jawab Lara singkat.
Setelah cuci muka dan sarapan, Lara berencana untuk mencari kalung miliknya lagi. TKP yang ingin dia datangi adalah rumah nenek, taman bermain di desanya serta jalan-jalan yang dia gunakan untuk berangkat dan pulang bermain kemarin.
Saat Lara hendak bergegas pergi, ia ditahan ayahnya dan ditarik menuju ke ruang belajar. "Lara! Kamu kata siapa hari ini libur!" tanya ayah Lara dengan nada yang sedikit meninggi. Lara mengernyit kebingungan. "Kan ini hari Minggu, Pak?" ujar Lara polos.
"Kamu lihat di luar sana banyak teman-teman kamu sekolah? Ini Sabtu, Ra! Apa sih yang kamu fikirkan sampai-sampai jadwal sekolah saja kamu lupa!" ucap ayah Lara dengan nada masih tinggi.
"Kamu mau bolos, kan! Udah! besok-besok nggak usah sekolah sekalian! Cari rumput saja sana!" sambung ayah Lara dengan nada bicara kian meninggi.
Lara agak gemetar dan menangis di tempat. Dia selalu tidak bisa melihat tatapan tajam dan suara bentakan ayahnya.
Dia benar-benar tidak tahu dan tidak ingat kalau hari ini adalah hari Sabtu. Seingat Lara, ini adalah hari Minggu, begitu fikirnya. Lara lalu pergi ke kamar dan mengunci pintunya. Menangis sepanjang hari.
Kalung hilang belum ketemu ditambah Lara lupa kalau ini masih hari Sabtu. Dia kembali menangis sampai tertidur. Fikirannya kacau.
***
"Ra! Buka pintunya! Makan dulu!" kata ibu sambil menggedor-gedor pintu.Ibu sudah pulang berarti hari sudah siang, batin Lara. Walau suara ibu masih agak ketus, Lara tetap bersyukur. Setidaknya ibu sudah mau berbicara dengan Lara. Rasa takut Lara agak sedikit berkurang.
DOR! DOR! DOR! Pintu kembali digedor. "Makan! Jadi anak jangan badung-badung! Menyusahkan orang tua saja!" kata ayah terdengar dari luar kamar.
Hati yang tadinya sudah agak tenang, kembali tidak karuan. Rasanya, semakin dibentak, batin Lara semakin ingin melawan. Lara menelungkupkan bantal dan menenggelamkan wajahnya di sana. Tangisnya kembali pecah.
Beberapa waktu kemudian, terdengar suara dari luar menyebut-nyebut nama Lara. Penasaran, ia lalu pelan membuka pintunya dan mengambil makan yang sudah disiapkan ibunya di depan pintu kamar tadi.
Lara mulai makan dalam kamar. Setelah tamu itu pergi, Lara diberitahu bahwa saaat lomba 17 Agustusan nanti Lara diminta ikut tiga lomba sekaligus. Fashion show¹, baca iqro' dan pildacil.
Teks pildacil sudah dipersiapkan dan Lara diminta untuk latihan. Lastri, tetangga sekaligus saudara Lara yang tahun ini masuk SMA menawarkan diri untuk membantunya.
Diberitahukan hal demikian oleh ayahnya, Lara masih diam. Dia tidak ingin berkomentar apa-apa.
Benar-benar sedang tidak ingin berkata sepatah katapun, hanya lisannya yang bergerak-gerak untuk mengunyah makanan. Namun, di hati Lara merasa bahagia, semangat, gugup dan perasaan campur aduk lainnya.
---
¹) Peragaan busana
²) Suasana hati
KAMU SEDANG MEMBACA
[IM]PERFECT
Ficción General- tentang trauma, cita, cinta dan air mata - balas dendam terbaik adalah menjadikan diri lebih baik