Jihoon membatu di tempat ketika menemukan seorang perempuan terbaring tidak berdaya di kasurnya. Dia memanggil gadis itu berkali-kali, tapi tidak ada respons. Keningnya mengerut.
Dia jelas tidak salah rumah. Buktinya dia bisa membuka password pintunya. Lalu, bagaimana seorang perempuan bisa masuk ke rumahnya?
Jihoon menghampiri orang itu. Dia memperhatikan setiap inci dari tubuh sang gadis. Selain perban yang menghiasi, masih ada bekas luka lainnya pada lengan dan kaki perempuan itu. Meski sudah kering, lukanya tampak serius karena jumlah yang banyak. Semakin dicermati, rasa iba muncul di benak Jihoon. Belum lagi perban di kening itu mulai mengeluarkan darah.
Dengan segera Jihoon mengambil kotak P3K miliknya. Dia mengangkat kepala gadis itu dan perlahan membuka perbannya. Seberusaha mungkin Jihoon melakukannya dengan lembut agar luka jahitan itu tidak bertambah parah.
"Apa yang terjadi pada gadis ini?" Luka yang Jihoon lihat sangat serius. Ada beberapa jahitan yang tidak bisa dihitung karena mulai menyatu dengan kulit.
Jihoon membersihkan darah-darah itu, lalu memberikan obat sebelum ditutup kembali dengan perban. Gerakan tangannya berhenti sejenak saat dia mengangkat kepala itu yang membuat wajah mereka berdekatan. Dia bengong untuk beberapa saat sampai kesadarannya kembali.
"Aku pasti sudah gila," gumamnya sambil menyelesaikan balutan perban tersebut.
Jihoon meletakkan kepala itu di bawah bantalnya dan menarik selimut untuk menghangatkan tubuh itu. Dia menghela napas. Harusnya dia tidak membiarkan orang asing berdiam diri di rumahnya, tapi dia juga tidak mungkin tega melaporkan orang sakit ke polisi.
Jihoon mengerang. "Aku memang sudah gila." Dia menutup pintu dan meninggalkan gadis tanpa identitas itu di kamarnya.
♡♡♡
Soo Ah menggerakkan tubuhnya dengan enggan. Dia sedikit meracau sembari memegangi kepalanya. Erangan tidak dapat dia elakkan. Dia harus lebih ekstra berhati-hati lagi mulai sekarang. Dia tidak kuat dengan rasa sakit ini.
Matanya masih berkunang-kunang, tapi dia memaksakan diri untuk bangun dari ranjang. Berjalan sempoyongan dengan menopang tubuh pada benda yang dipegangnya. Soo Ah meraih knop pintu dan hal pertama yang dia lihat adalah gambaran seorang pria yang tengah serius dengan laptop dan dokumen menumpuk. Meski begitu, pria itu tidak mengurangi awas untuk sekedar menyadari keberadaan Soo Ah.
Pandangan mereka bertemu. Wajah bulatnya dengan mata dan bibir tipis. Rahang yang tegas, serta tubuh tegap pada ekspresi yang terkesan dingin itu mampu membuat Soo Ah tidak bisa mengalihkan mata. Wajah itu terlalu menarik untuk dilewatkan. Ditambah kacamata baca yang menggantung di hidung itu memberi siluet yang menambah karismanya.
Tiba-tiba serangan mendadak menghantam kepala Soo Ah. Telinganya berdengung. Soo Ah menjatuhkan diri sambil menarik rambutnya perlahan. Panggilan terkejut bergabung dengan dengungan di telinganya, diikuti sentuhan di pundak.
Awalnya Soo Ah tidak bisa mendengar satu perkataan pun, tapi setelah beberapa menit dipenuhi dengungan, kini telinganya mulai kembali normal. Akhirnya, Soo Ah mendengar suara serak yang dingin dari bibir itu.
"Kau tidak apa-apa? Mau ke rumah sakit?" tanyanya khawatir. Berbeda dari wajahnya yang dingin, suaranya kental dengan intonasi yang dinamis dan lembut. Gambaran kesempurnaan di benak Soo Ah semakin terasa tidak nyata untuknya.
Soo Ah menggeleng ringan tanpa memberikan sepatah kata. Pria itu pun membantunya berdiri menuju sofa. Meja yang tadi sore masih rapi dan bersih, kini sudah berantakan dengan kertas dan beberapa bungkus sisa makanan layaknya outmeal. Soo Ah melirik jam mini yang tergeletak di meja bersamaan dengan pekerjaan pria itu. Waktu menunjukkan tengah malam, tapi suaminya seperti masih serius mengerjakan pekerjaan-pekerjaan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
S.O.S [COMPLETED]
RomanceAku sudah menikah.. Namun, hanya itu yang kuingat. Bahkan aku tidak ingat apapun tentang suamiku. Duniaku terasa baru sampai beberapa kejadian mulai membuka memoriku - Soo Ah. Aku sudah menikah? Kapan?! Kesadaranku masih cukup bagus untuk tahu statu...