Satu hari. Dua hari. Hingga hari ketiga pun tiba. Akhirnya hari-hari sepi di rumah akan segera usai. Soo Ah merasa senang karena besok dia akan segera melihat wajah pria itu lagi. Meski terkadang menyeramkan, nyatanya dia sangat merindukan Jihoon dalam waktu tiga hari saja.
Setiap hari setelah habis makan dan membersihkan rumah, Soo Ah selalu meminjam kursi dan meja kerja Jihoon untuk menemaninya melamun sambil melihat keluar jendela. Telinganya juga terus menunggu-nunggu bunyi ponsel yang jadi tanda ada balasan pesan atau menelepon dari Jihoon. Selain dari itu, tidak ada lagi yang bisa dia lakukan.
Biasanya, prioritas utama Soo Ah hanyalah mengurus Jihoon. Namun, tidak adanya pria itu membuatnya tidak memiliki kegiatan. Makin dipikirkan, aku makin ingin melihatnya, batin Soo Ah.
Karena ini hari terakhir, Soo Ah sejak tadi hanya memandangi ponselnya. Membuka kontak pesan Jihoon dan menunggu balasan dari pria itu, meskipun pesannya terlihat tidak pernah dibalas satupun. Namun, sebenarnya, Jihoon akan langsung meneleponnya dan berbincang walau itu singkat.
Soo Ah tersenyum-senyum sendiri pada sikap Jihoon yang agak malas untuk mengetikkan pesan balasan. Karena kemalasan itu, setidaknya dia jadi bisa mendengarkan suara Jihoon. Sekaligus melepas rindu.
Soo Ah menutupi wajahnya dengan kedua tangan kuat-kuat demi meredam teriakannya. "Kenapa dia bisa membuatku seperti ini?"
Habis puas berteriak, Soo Ah membaringkan kepalanya ke tepi meja. Mengusap ponselnya dengan satu jari. Bergerak ke tengah layar, lalu tidak sengaja menekan panggilan pada suaminya.
Soo Ah segera menegakkan punggung. Tangannya bergetar untuk mematikan panggilan itu. Jantungnya meledak. Tidak akan langsung berbunyi, kan? Soo Ah sangat panik. Meski dia ingin menelepon Jihoon, tetapi Soo Ah agak takut akan mengganggu pria sibuk itu. Dia hanya berani mengirimkan pesan. Itu pun hanya satu atau dua baris. Tidak lebih.
Di sela-sela ketakutannya, panggilan balik dari Jihoon datang tidak lama kemudian. Tangannya hampir saja menjatuhkan ponsel itu. Langsung atau tidak langsung berhadapan dengan Jihoon, jantungnya tetap lemah. Dengan tangan bergetar, Soo Ah menggeser tombol hijau.
"Yeoboseyo³⁹!" balas Soo Ah dengan suara kecil yang kental akan perasaan takut.
"Kenapa teleponnya dimatikan? Kau tidak apa-apa, kan?" Suara Jihoon di seberang sana terdengar sangat panik. Soo Ah merasa tidak enak hati.
"Oppa, jeosonghaeyo. Tadi aku tidak sengaja menekannya," ucap Soo Ah dengan sangat menyesal. Dia pasti telah mengganggu dan membuat pria itu khawatir.
Jihoon terdengar mengembuskan napas lega. "Kukira terjadi sesuatu padamu."
Soo Ah hanya bisa meminta maaf penuh penyesalan sebesar-besarnya. Namun, pria itu berkata, "Tidak perlu meminta maaf. Aku tidak sedang sibuk."
Kali ini Soo Ah yang bernapas lega. Syukurlah, batinnya.
Jihoon kembali bersuara. "Besok aku pulang, kau ingin apa?"
"Oppa-" Soo Ah segera membekap bibirnya sendiri dan meralat, "Bu-bukan! Maksudku bukan itu. Te-tetapi itu-"
Jihoon memotong gagap Soo Ah. "Aku akan membawakan yang kau mau itu."
"Oppa!!" Soo Ah merengek kencang dan memendamkan wajahnya ke meja. Jihoon pun terkekeh dengan suara datarnya.
Tidak lama kemudian, ada suara lain datang memanggil suaminya. Telepon singkat ini pun terpaksa pria itu akhiri lagi. Soo Ah masih berat hati meski dirinya tidak banyak bicara.
"Aku harus pergi dulu. Nanti kutelepon lagi. Annyeong⁴⁰ ...." Setelah Soo Ah membalas salam itu, Jihoon baru memutuskan panggilan mereka.
Sepi lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
S.O.S [COMPLETED]
RomanceAku sudah menikah.. Namun, hanya itu yang kuingat. Bahkan aku tidak ingat apapun tentang suamiku. Duniaku terasa baru sampai beberapa kejadian mulai membuka memoriku - Soo Ah. Aku sudah menikah? Kapan?! Kesadaranku masih cukup bagus untuk tahu statu...