28. Pembukaan Sidang

127 26 24
                                    

Bunyi alat detektor jantung menyambut Jihoon kala memasuki ruang inap Soo Ah. Meski satu ruangan menjadi bising karena alat tersebut, suara Jihoon masih dapat terdengar jelas walau gadis itu tetap tidak mengetahuinya.

"Aku datang," sapa Jihoon tanpa meminta balasan.

Jihoon meletakkan makan siangnya di nakas. Kemudian, mengganti kembang yang sudah layu dengan bunga baru di tangannya. Dilihatnya sejenak bunga itu. "Harusnya aku tidak membelikanmu bunga putih, ya. Suasana jadi kurang berwarna, seperti mataku yang melihatmu masih terbaring."

Belum berniat menyantap makan siangnya, Jihoon justru menarik kursi di sisi ranjang dan menggenggam tangan Soo Ah. Dia memberi kecupan singkat dengan menundukkan kepala agar tangan yang terinfus itu tidak kesakitan. "Maaf hari ini aku agak terlambat. Pengganti sementaraku di kantor masih belum terbiasa dengan pekerjaannya. Jadi, aku masih harus memberikan arahan. Hari ini aku juga mengunjungi kantor polisi untuk penyelidikan sekaligus menengok suamimu yang sedang di penjara sekarang."

Dia menghela napas berat mengingat Satpam Jung yang masih bertingkah meski sudah di jeruji besi. "Dan dia sama sekali tidak menyadari kesalahannya. Orang yang sangat merepotkan."

Jihoon kembali mengaitkan jari-jari mereka. "Tetapi, kau tenang saja. Kami semua akan berusaha memenangkan persidangan ini agar dia tidak bisa menyentuhmu lagi."

Walau dia mengatakannya dengan yakin, tetapi ada sedikit keraguan dalam diri Jihoon. Bukan ragu untuk menang, melainkan dirinya hanya takut tidak bisa memberi kesaksian dengan baik. Dalam ruang sidang tertutup itu, pasti ada banyak orang asing yang akan menaruh perhatian padanya saat bersaksi. Jihoon takut kesaksiannya jadi kurang sah karena tidak bisa menatap hakim. Atau buruk lagi, bisa saja dirinya sampai tidak dapat bicara.

Jihoon terus membayangkannya hingga tidak sadar sudah meremas tangan Soo Ah. "Soo Ah-ya, apa kau tidak bisa bangun sebentar? Aku butuh semangat darimu." Tatapannya begitu menanti meski tidak ada tanda-tanda Soo Ah akan membuka mata.

Napasnya pun terembus. Karena tidak bisa memaksakan kesadaran Soo Ah, Jihoon bangkit dan beralih untuk menyantap makan siangnya. Namun, sebelum dia makan, Jihoon mengecup pundak kepala Soo Ah terlebih dahulu. "Aku makan dulu." Kemudian, membawa makanannya ke sisi ranjang.

Hari ini, dia berencana menemani Soo Ah satu hari penuh dan tidak berniat bangkit dari sisi ranjang. Karena mulai besok, kemungkinan Jihoon akan sulit mengunjungi gadis itu dengan jadwal persidangan yang sudah ditentukan. Meski dia tidak akan langsung bersaksi di hari pertama, tetapi Jihoon tetap ingin mengikuti seluruh prosesnya. Dia ingin mengetahui cara kerja hukum agar nanti tidak gugup.

Hanya saja, Jihoon juga agak sulit untuk meninggalkan Soo Ah dalam keadaan seperti ini. Napasnya pun terembus berat dengan kepala sesekali terangkat untuk melirik Soo Ah.

Dengan bibir setengah penuh, pria itu tiba-tiba ingin mengatakan, "Padahal aku sudah melihatmu, tetapi rasanya masih rindu."

Namun, itu justru membuatnya tersedak. Bukan karena makan sambil bicara, melainkan dia merasa jari Soo Ah bergerak.

Tubuhnya segera bangkit dan memindahkan makanan itu dari ranjang. Kemudian, dia berjongkok sambil berusaha menelan makanan yang sudah ada di mulutnya. Setelah berhasil memakan semuanya, Jihoon kembali terbatuk-batuk karena sensasi terkejut itu masih ada.

Mengejutkan sekali! Aku seperti habis tertangkap basah mengaku rindu. Jihoon mengusapi dadanya yang berdebar dua kali lipat lebih kencang.

Jihoon menatap ranjang, lalu kembali berdiri saat jantungnya agak membaik. Ketika dia ingin memastikan penglihatannya tadi, Jihoon justru menemukan mata Soo Ah yang sudah terbuka. Senyumnya tidak dapat ditahan.

S.O.S [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang