Padahal sudah biasa bergandengan tangan dengan Gunawan, tetapi kali ini rasanya beda. Beberapa kali Rara mengerutkan wajah sambil senyum tertahan, lalu melihat tangannya yang terayun berada digenggaman Gunawan. Kalau tidak malu, Rara ingin sekali teriak.
Gunawan memundurkan wajah, heran dengan Rara yang dari tadi senyum-senyum sendiri terlihat dari matanya yang hanya tinggal segaris.
"Kamu kenapa, Cing?"
"Hah? Oh, eh, enggak."
Gunawan terkekeh, mengusap puncak kepala Rara. Mereka berhenti di toko pakaian. Memilih beberapa stelan piama, dengan model dan warna yang sama. Putih bercorak hitam dan merah maroon, dipilih keduanya.
"Kak Ovie sekalian aja." Rara menawari.
"Iya, Ma. Mama mau yang mana? Pilih saja." Sebenarnya Gunawan tidak enak. Seperti merepotkan Ovie untuk menemani Rara dengannya.
"Iya, Kak, Gun. Santai."
Terkadang Ovie ingin tertawa mendengar Gunawan memanggilnya dengan sebutan 'Mama' pemuda itu satu-satunya dari anak Indosiar yang memanggil ia seperti itu. Ovie senang melihat Rara bahagia bersama Gunawan. Apalagi pemuda itu terlihat beda dari lelaki yang pernah mendekati Rara.
Sebenarnya tadi Gunawan juga mengajak Jirayut, tetapi dia tidak bisa keluar, entah apa alasannya. Mungkin sengaja membiarkan dua sahabatnya pergi untuk pertama kali.
Ketiganya berhenti di tempat makan. Ovie tadinya ingin pisah dari meja Gunawan dan Rara, namun keduanya tidak mengizinkan. Padahal Ovie ingin memberi waktu mereka untuk berdua. Dia, kan, juga pernah muda. Khawatir kehadirannya mengganggu.
"Gun sama Kakak enggak boleh minum es dulu, yah." Ovie mengingatkan.
Selesai makan, Gunawan dan Rara beralih ke area permainan. Keduanya sibuk bermain di sana. Memasukkan bola ke ring basket membuat Rara bergerutu, tidak bisa melemparnya dengan benar. Gunawan terkekeh, mendekat ke arah Rara. Memeluk gadis itu dari belakang, membantu mengarahkan dan melempar bola hingga...
"Hore, masuk!" teriak Rara sambil joget, kemudian memeluk Gunawan.
"Ya ampun keren banget, sih, aku," tambahnya menyombongkan diri. Gunawan tertawa dan mengiyakan saja.
Gunawan dan Rara adalah pasangan yang telah ditentukan oleh langit, dengan takdir yang dibuat di luar batas kemampuan manusia.
Berawal dari sebuah perkenalan yang tak disengaja, memulai obrolan sederhana hingga akhirnya timbul rasa suka. Hari demi hari keduanya lewati bersama, mengukir cerita dengan berbagai alur yang berbeda.
Badai pernah menghalangi. Kerikil membuat kaki berdarah-darah. Kepercayaan diuji. Semua itu akan terus menghampiri. Gunawan dan Rara harus siap, bila itu semua kembali.
Bertemu Gunawan bukan hanya perihal cinta pada pasangan, namun ada sosok yang Rara rindukan di dalam diri pemuda itu. Seperti ada bayangan sang ayah di sana.
Rara tidak ingin melepaskan genggaman hangat Gunawan. Genggaman yang selalu membuatnya candu.
Tidak tega membangunkan Rara yang tertidur di bahunya. Gunawan ingin menggendong, tetapi tidak mungkin ia lakukan. Apa yang akan dipikirkan Ibu nantinya.
"Bangunin aja, Gun, enggak apa-apa," kata Ovie memberi tahu. Dia terkekeh, melihat Gunawan bingung.
"Cing bangun, Sayang." Gunawan mengusap kepala Rara, turun ke pipi menepuk-nepuk pelan.
Rara menggeliat, mengerjapkan mata, lalu tersenyum melihat Gunawan.
"Kok, udah nyampe rumah aja."
"Ya kamu tidur sepanjang jalan."
"Kenapa enggak gendong aja, sih?" keluh Rara. Merapihkan penampilannya.
"Apa yang Ibu pikirin nantinya kalo gendong-gendongan?"
"Paling Ibu cuma bilang 'kebo banget anak gadis' gitu."
"Ish... Udah ayo turun, tuh, Kak Ovie udah dari tadi masuk." Gunawan turun lebih dulu, menunggui Rara turun juga.
Keduanya disambut Ibu dengan senyum lebar. Rara mengapit tangan Ibu, setelah mereka mencium punggung tangannya. Rara buru-buru membawa Ibu menjauh dari Gunawan, sebelum beliau menggandeng calon menantunya itu.
Aamiin, kan, GUNARA...
"Kakak, nih, sama Ibu cemburu."
Kepalanya Rara geleng-gelengkan sambil mencuatkan bibir. Kebiasaan memperebutkan Gunawan dengan Ibu. Jangankan bertemu langsung, Ibu menelpon Gunawan saja dirinya cemburu.
Terasa hangat di dalam dada. Sulit dijelaskan. Namun, Gunawan tahu bahwa dia sangat beruntung bisa berada di tengah-tengah orang yang menyayanginya dengan tulus. Meski telah banyak yang ia ungkapkan, namun kasih sayang dari keluarga Rara tidak berkurang sedikitpun. Ia berharap semoga takdir baik menaungi dirinya dan Rara.
"Indi, ayo makan dulu." Rara menghampiri, setelah selesai membantu Ibu menyiapkan makan malam.
Rara menarik tangan Gunawan ke meja makan. Menyiapkan piring dan mengambilkan nasi untuknya.
"Bu, udah pantes belum jadi istri?" tanya Rara sambil terkekeh. Gunawan di sampingnya jadi salah tingkah.
"Nak bujang siap belum?" tanya Ibu menggoda.
"Awas kalo enggak siap, aku tampol," sela Rara. Sebetulnya dia hanya ingin membuat Gunawan merasa tidak terpojok. Lagipula tadi Ibu hanya bercanda. Rara tahu banyak hal yang harus dipersiapkan Gunawan, pun dirinya. Rara juga ingin Gunawan membahagiakan keluarganya terlebih dahulu. Gadis itu tidak akan memaksa, tugasnya kini hanya menunggu dan percaya.
"Nak Gunawan jaga kesehatan. Nanti besok Ibu kirim makanan, yah."
"Tidak usah, Ibu. Ngerepotin." Gunawan mengusap bibir, takut ada makanan menempel di sana.
"Tidak merepotkan, Nak. Ibu justru suka, anak bujang Ibu jauh, tidak bisa mengurus setiap hari. Jadi Ibu mau mengurus Nak Gunawan di sini."
Harus bagaimana lagi Gunawan mengungkapkan rasa syukurnya.
*
"Wih, yang habis jalan sama pacar." Hari menjatuhkan diri di kursi. Sedangkan Gunawan sudah merebahkan tubuh di lantai.
Gunawan dan Hari, dua pemuda yang memiliki sifat bertolak belakang, namun dari sanalah mereka saling melengkapi.
"Bawa pempek kah, Gun?" tanya Hari.
"Tidak."
"Ih, aku nunggu kirain kau bawa pempek."
"Ri?"
"Apo?"
Hening. Hari menoleh ke arah Gunawan, lalu berdecak. Kebiasaan pemuda itu membuatnya penasaran.
"Apo, sih, Gun?"
"Tidak. Hanya test kuping kau saja." Gunawan terbahak, mendapat hadiah pukulan bantal dari Hari.
"Mentang-mentang ya kau habis jalan sama Ucing."
Gunawan tersenyum. Mengingat seharian ini bersama Rara. Ternyata menghabiskan waktu dengan Rara di luar kerja membuat beban di bahunya terasa ringan. Tingkahnya, senyumnya, manjanya, keanehannya menjadi penetralisir racun dalam hati Gunawan. Bersama Rara, Gunawan merasa tenang dan percaya kalau semua akan baik-baik saja.
"Kau beneran bucin ya, Gun." Hari menggeleng beberapa kali. Geli sendiri melihat sedingin apa Gunawan justru senyum-senyum sendiri karena Rara. "Kesurupan setan bucin kau," tambahnya.
Hari menghela, lalu tersenyum. Gunawan yang tenang memang cocok untuk Rara yang ramai, menurutnya. Tidak ada yang bisa mengimbangi keduanya selain mereka berdua.
Satu rintangan besar telah Gunawan dan Rara berhasil lalui. Namun, mereka juga harus siap bahwa di depan masih banyak kerikil tajam yang menghambat.
Gunawan percaya, apa yang ditakdirkan menjadi miliknya akan tetap menjadi miliknya. Tidak bisa diambil ataupun direbut darinya. Meski mereka bersusah-susah.
![](https://img.wattpad.com/cover/310452010-288-k382636.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
YARA (komitmen)
Non-FictionAdam dan Hawa pernah dipisahkan sangat jauh, tetapi kemudian dipertemukan kembali karena sudah ditakdirkan bersatu. Berpisah dulu. Mendewasakan diri. Lalu, bertemu kembali. Mungkinkah pada Gunawan dan Rara hal itu juga terjadi?