Semua kembali berjalan seperti biasa. Gunawan dan Rara semakin dekat, penuh cinta.
Rara yang manja. Gunawan yang dingin.
Rara yang humoris. Gunawan yang pendiam. Rara yang konyol. Gunawan yang cuek.Jika kebanyakan pasangan, wanitalah yang menjadi pawang laki-laki. Maka itu tidak berlaku bagi mereka. Gunawan-lah pawang dari Rara.
Sekonyol dan sebobrok apa pun tingkahnya, kalau sudah ada Gunawan memandangi, Rara akan diam seketika. Seolah menjadi gadis lugu dan elegan.
Pasangan yang aneh. Namun, saling melengkapi dan mengisi.
Keromantisan keduanya tidak membuat Rara berhenti melakukan siaran langsung dengan pria itu. Namun, hal ini juga sudah dibicarakan bersama Gunawan. Sebenarnya Gunawan ingin melarang, tapi apa haknya. Sampai saat ini dia masih memegang teguh prinsip 'Kepercayaan'. Dia yakin hati Rara miliknya. Rara tidak akan mengkhianatinya.
Menahan kesal dari awal karena komentar yang ia baca membuat Rara tersulut emosi. Apalagi sedari tadi dia ingin sekali mengakhiri siaran langsung ini. Berbagai alasan sudah Rara katakan, tapi pria itu masih saja menahan. Hingga batas sabar Rara melampaui batas, saat teman siarannya minta kiss bye, ia menuruti permintaan itu.
Di lain tempat, Gunawan tak habis pikir atas apa yang dilakukan Rara di siaran langsung itu. Baginya ini tidak biasa. Amarah yang sedari tadi ia rasa tak mampu lagi tertahan.
Ditinjunya meja samping ranjang sekuat tenaga, tak ada rasa sakit sama sekali. Gunawan ingin memaki, tapi pada siapa, haruskah pada dirinya sendiri?
Gunawan tahu, Rara begitu ramah, namun haruskah dia melakukan hal itu? Selama ini dia berusaha menjaga diri dan sikap demi perasaan Rara. Namun, mengapa Rara justru menamparnya dengan hal itu.
Tidak ada perasaan yang baik-baik saja melihat pasangannya dekat dengan orang lain. Gunawan selalu berharap Rara tidak pernah lupa ke mana hatinya harus pulang.
Membiarkan ponselnya bergetar karena panggilan video dari Rara. Gunawan masih mencerna semuanya. Kalau bicara sekarang dengan Rara, ia takut mengatakan hal-hal yang bisa membuat dirinya sendiri menyesal. Saat ini Gunawan ingin sendiri. Berusaha meredam amarah yang dari tadi mondominasi.
Cukup membuat Gunawan lelah, berpikir tentang keseriusan nyatanya mungkin hanya karena penasaran. Dia selalu merasa bahagia karena Rara selalu di sisi, ternyata jiwanya sedang sepi. Rara selalu meminta diperjuangkan, namun dia juga seperti menyuruh Gunawan untuk berhenti dan mundur perlahan.
"Dia bisa tidur enggak, yah?" tanya Gunawan pada diri sendiri. Pasalnya dia pun tidak bisa memejamkan mata. Rasa bersalah hadir di hatinya. Namun, bila tadi dia mengangkat telpon, Gunawan khawatir akan berkata buruk.
Menjelang pagi baru dia bisa terlelap, namun ketukan di pintu membuatnya terpaksa membuka mata.
"Anjir, pagi-pagi bertamu," gerutu Gunawan. Matanya masih ia kerjap-kerjapkan sambil berjalan, lalu membuka pintu. Sebelumnya ia memeriksa kamar Hari yang ternyata masih terkunci.
Gadis berambut pirang dengan senyum simpul itu membuat mata Gunawan benar-benar terbuka. Di tangannya ada totebag. Sebelum Gunawan mempersilakan, dia langsung masuk.
"Mandi dulu sana. Nanti sarapan bareng. Tadi Ibu bikin nasi goreng banyak, katanya suruh bawa ke sini juga." Dengan cekatan dia menyiapkan sarapan di meja makan. Tanpa mengucapkan apa-apa Gunawan masuk ke kamar mandi. Gadis itu menoleh dan mengembuskan napas lelah.
Gunawan kembali dengan wajah lebih segar. Rambutnya masih basah. Mereka terlihat seperti suami istri yang sedang sarapan.
"Maaf."
KAMU SEDANG MEMBACA
YARA (komitmen)
SaggisticaAdam dan Hawa pernah dipisahkan sangat jauh, tetapi kemudian dipertemukan kembali karena sudah ditakdirkan bersatu. Berpisah dulu. Mendewasakan diri. Lalu, bertemu kembali. Mungkinkah pada Gunawan dan Rara hal itu juga terjadi?