2 hari sudah aku di kediaman keluarga mas Azam. Dan hari ini juga aku bersiap kembali ke rutinitas ku sebagai mahasiswi, mas Azam dan keluarganya tidak mempermasalahkan itu karena memang sedari awal aku sudah mengatakan kalau aku masih menjadi seorang mahasiswi hampir semester akhir.
"mas, hari ini aku ada bimbingan. Proposalku sudah ACC" ucapku pada mas Azam yang sedang duduk diranjang sebelahku.
"Iya, nanti mau mas jemput?" Jawabnya
"Tidak usah mas, nanti motornya bagaimana kalau njenengan jemput aku" ucapku sedikit tertawa.
Lalu aku dan mas Azam segera turun ke bawah untuk sarapan. 3 hari lagi kemungkinan bulan Ramadan akan datang. Jadi aku mau mengebut tugasku di kampus. Dan aku enggan sekali ke kampus di bulan Ramadan, kalau bukan karena kewajiban. Astaghfirullah aku.
Setelah semuanya berkumpul kami Hidmat pada makanan di piring masing-masing. Setelah selesai makan semua Abi mas Azam ngendikan (berkata-kromo inggil)
"Zam, posonan Ten pundi?"
"Ten pondok maleh Abi, nyuwun pandongane." Jawaban mas Azam. Aku mendengar jelas semuanya walau aku sudah beranjak dari meja makan bersama adik mas Azam untuk meletakkan piring kotor kami.
"Kapan pangkate?" (Kapan berangkatnya?) Tanya Abi kemudian. Akupun masih asyik menyemak pembicaraan ini, mas Azam tak pernah membicarakan ini sebelumnya denganku.
Sebenarnya banyak sekali kecamuk dalam pikiranku. Tapi sepertinya tidak ada waktu sekarang. Akhirnya kuputuskan untuk segera mengambil tas dan pamit pada mas Azam dan Abi lalu ke kamar umi. Sepertinya pembicaraan mas Azam dengan Abi juga masih serius aku enggan mengganggu.
Aku menaiki motor matic milik keluarga mas Azam. Awalnya enggan tak enak hati rasanya, tapi paksaan mas Azam dan kata umi motor tersebut dari pada rusak jarang digunakan mending kupakai saja. Akhirnya aku menurut. Lebih dekat sih jarak dari ndalem keluarga mas Azam ke kampus daripada jarak dari rumahku.
08:55 akhirnya aku sampai juga. Masih ada 5 menit untuk aku mempersiapkan diri sebelum bertemu dosenku.
Waktu berjalan cukup cepat tak terasa kini aku dan teman-teman Bimbingan yang lain sudah keluar dari ruangan dosen. Masih harus revisi? Alhamdulillah masih harus dua atau tiga kali lagi kata dosbing ku karena hasil hari ini cukup bagus dan tinggal menambah sedikit referensi dan persiapan saja. Ah akhirnya sedikit angin segar kuhirup kuat-kuat.
Hampir dhuhur, kira-kira ±5 menit lagi. Aku memutuskan untuk ikut temanku ke kantin dan makan siang, sebelumnya kami mengikuti sholat jamaah terlebih dahulu di masjid kampus. Beberapa jam di ruangan dosen membuatku lapar juga ternyata.
"Ehm yang sudah punya suami mah auranya beda ya bund..." Sela temanku sewaktu SMA yang beda jurusan tapi satu dosbing denganku kini sedang menggodaku? Ah yang benar saja.
"Apa sih bund, gaada pembahasan lain ya?" Jawabku cuek sambil mengalihkan pandanganku pada layar ponselku yang baru saja berkedip tanda pesan masuk. Ah mas suamiku ternyata.
"Aku mah apa atuh. Eh maap ya maul, aku gak Dateng kemarin pas nikahan. Habis aku masih keteteran jagain ibu di RS. Sebagai hadiahnya makan kali ini aku traktir deh" ujarnya.
"Iya gapapa. Cepet sembuh ya buat ibu. Gausah traktir gapapa sel, doakan saja ya" jawabku.
"Makasih Ning Maula. 2 hari lalu ibu udah boleh pulang, katanya pengen ketemu kamu maul, pengen lihat temen SMAku yang super super unik ini nikah, tapi ya" ucapnya diakhiri dengan nada pasrah. Tidak terlalu dekat sebenarnya aku dan sela tapi yah begitulah ibunya baik sekali dan sudah mengenalku.
"Bisa aja sih ibu. Yasudah kalau ada kesempatan aku main. Tapi kalau ibu mau main ke tempat masku juga gapapa. Kabari saja nanti. " Jawabku.
Lalu pesanan kami pun datang. Dan kami menikmati makan siang dengan tenang.
Aku memarkirkan motor di garasi ndalem. Lalu kulangkahkan kaki menuju tempat umi yang sedang membaca buku. Aku Salimi umi, dan aku langsung izin ke kamar mas Azam dan aku.
Kuketuk pintu kamar yang lampunya padam. Aku yakin mas Azam belum pulang. Entah masih di musholla atau dimana. Akhirnya kubuka pelan pintu tersebut dan kunyalakan lampu kamar. Sejenak aku ingin istirahat. Tapi akhirnya hanya bisa bersandar dan melamunkan sesuatu yang sedari pagi mengganggu pikiranku. Benar kata Ari sebelum aku menikah dengan mas Azam. Ia tidak akan meninggalkan mondoknya begitu saja. Oke aku harus tenang, aku harus harus siap menerima ini semua, aku tidak boleh egois.
Aku segera mengambil handukku, aku akan segera mandi.
Malamnya, mas Azam mengajakku ke sebuah restoran untuk sekedar makan malam berdua. Mas Azam masih tetap sama memperlakukan dirimu selayaknya ratu, menyukupi semua kebutuhanku kecuali satu kebutuhan batin. Sampai sekarang aku masih belum disentuh mas Azam. Hal yang kami lakukan hanya sebatas skinship tak lebih dari ciuman pelukan dan ah sudahlah. Bukan aku tak pernah menawari beliau tapi katanya belum waktunya. Akupun hanya bisa mengangguk pura-pura mengerti, aku sadar masih banyak kekurangan. Tapi tak kuambil pusing untuk masalah itu. Aku mencoba mengerti mungkin dirinya masih syok dengan pernikahan dadakan ini, yah inilah yang aku sebut dengan pacaran setelah menikah.
Malam ini kami menikmati hidangan kami dengan tenang, suara biola nan tenang menambah kesan romantis, tapi tak dapat benar-benar mengalihkan perasaan gundahku malam ini, mas Azam belum membuka suaranya mengenai keberangkatannya ke pondok. Aku masih mencoba sabar dan sadar sebagai seorang istri dan wanita bernasab biasa saja tidak seperti dirinya.
Sampai akhirnya
"Dek, Daharan e mbtn eco?" Suara tegas dan lembutnya menginstrupsiku.
Aku yang sedang bergulat dengan pikiranku sendiri kaget dan tersadar dari lamunanku. Tadi sore aku menelpon adikku Ari. Bertanya akan keberangkatan pondok, dan katanya besok malam setelah isya rombongan berangkat. Waktuku berdua dengannya sudah semakin menipis. Miris sekali jika dibandingkan berstatus istri tapi tak menyanding suami.
"Eh, mbtn mas, Niki eco kok" jawabku segera mengambil potongan daging yang belum kunjung kumakan.
Tapi naas gerakan ku kalah cepat dengan tangan beliau yang tetiba mengambil alih piring dan semua yang diatasnya. Lalu ia menyuapkan potongan daging tersebut padaku. Jujur aku luluh jika perlakuannya seperti ini aku tak sadar sudah kali keberapa aku merasa dilengkapi olehnya seperti ini dan menjatuhkan cintaku padanya. Terlihat romantis bukan suamiku menyuapkan makanan padaku lalu aku membersihkan saus yang menempel di ujung bibirnya dengan tisu. Ah bahkan makanannya sudah tandas.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHA SANTRI
Teen FictionAku seorang mahasiswi semester 7 jurusan pendidikan bahasa Arab. Hidupku sangat biasa saja. Sejenak disela-sela KKN ku, aku selalu memikirkan bagaimana hidupku setelah ini. Pasti kebanyakan diantara bayangan mahasiswa pendidikan, adalah mendaftarka...