Bab 7 Pangeran Hati

12 11 0
                                    

Asa menatap nanar dirinya di depan cermin. Ia mengasihani dirinya sendiri, karena tidak mendapatkan perlakuan baik dari kedua orang tuanya. Asa sangat kecewa, karena selalu dipandang sebelah mata.

"Kenapa Asa harus lahir ke dunia ini, kalau kalian berdua tidak menginginkan Asa?"

"Memangnya apa bedanya Asa sama Asna? Wajah kami sangat mirip! Prestasi juga... tidak beda jauh!"

Asa berjalan kearah jendela, lalu ia membukanya dan mempersilahkan angin untuk masuk. Deru angin yang kencang membuat rambut Asa terkibas tak beraturan. Asa menghirup dalam-dalam aroma malam yang tak pernah berubah. Masih seperti malam-malam sebelumnya, sepi, sunyi, dan memenangkan.

Tok! Tok! Tok!

"Siapa?"

"Cepat keluar! Ada yang nyariin lo tuh."
Seolah tahu apa yang ada dipikiran Asa, Asna langsung berkata, " Ada si Satya tuh, teman SMP lo waktu di Bandung."

"Satya? Ya ampun. Di mana dia sekarang?"

"Dia nunggu lo di ruang tamu, dia kesini sama Tante Rere."

Asa yang mengetahui sahabatnya berkunjung, buru-buru ia langsung menuju ke ruang tamu.

"Satya!" teriak Asa sambil menuruni anak tangga.

"Gak usah lari-lari Sa, kayak apaan aja sih! Iya gue tahu lo 'kan gak pernah liat cowok ganteng," cicit Satya sembari memainkan alisnya.

Plaakk!

Asa memukul lengan Satya. Hal ini sudah menjadi kebiasaannya ketika bertemu dengan Satya.

"Lo dari dulu gak pernah berubah ya? Selalu lengan gue yang jadi sasaran lo!" ujara Satya sembari mengelus-elus lengannya.

"Oh ya... Mana Tante Rere?"

"Mama baru aja pulang, karena tiba-tiba ada yang nelpon tadi. Mama titip salam buat lo."

Asa mengangguk paham, semenjak Om Rendra meninggal. Tante Rere mencoba memulai bisnis kecil-kecilan, tentu saja hal itu telah menambah kesibukan Tante Rere yang berprofesi sebagai guru.

"Sat... Gue mau bicara sama lo. Bisa?"
Satya yang melihat mimik wajah Asa yang serius, seketika tubuhnya menegang karena khawatir.

"Lo mau bicara apa Sa? Jangan bikin gue jantungan gini."

"Hussttt... Ayo ikut gue ke taman belakang!"

Satya dan Asa kini duduk di bangku putih yang tersedia di sana. Mereka ditemani dengan semerbak harum bunga dan semilir angin malam yang sangat menusuk tubuh.

"Dihari pertama gue masuk sekolah. Tiba-tiba ada surat di laci gue, padahal gue yakin banget Sat. Waktu masih kegiatan belajar itu gak ada surat itu."

"Apa isi surat itu?" tanya Satya santai, ia mencoba untuk mencairkan suasana agar tidak tegang seperti film horor.

"Isi surat itu... Dia ngungkapin perasaannya ke gue."

Degg!

"Apa mungkin, dia akan memulai aksinya? Tapi kenapa gak kasih tau gue dulu sih. Kebiasaan tuh bocah."

"Dan ternyata dia suka sama gue itu udah lama banget Sat, waktu gue merima cinta dari seorang Titan Reynold. Itukan pas gue masih SMP."

"Oh gitu Sa, luar biasa banget ya cintanya. Lo pasti bakal jadi perempuan paling bahagia dan beruntung jika bisa bersama dengannya."

"Kenapa lo bisa seyakin itu? Apa lo tau siapa orangnya?" tanya Asa dengan penuh selidik.

"Maafin gue Sa, tapi gue udah janji sama dia gak bakal ngasih tau ke elo soal identitas dirinya."

Asa melambaikan tangannya di depan wajah Satya. "Hallo! Ngapa ngelamun Sat? Awas lo nanti kesambet!"

"Enggak kok. Gue cuma lagi mikir aja, siapa kira-kira cowok itu," kata Satya berbohong.

***

Di sisi lain ada seorang perempuan yang tengah duduk di sudut kasurnya. Ia tersenyum, dan mencurahkan semua isi hatinya.

"Kenapa kamu gak suka sama aku? Kenapa kamu mengabaikanku? Apakah diriku sama sekali tak menarik bagimu?" kata Asna sembari menatap foto seorang lelaki.

"Kamu adalah lelaki terbaik yang pernah kutemui, setelah Papa. Dulu kamu selalu ada untukku, tetapi apa sekarang? Kamu pergi entah kemana."

"Asna... Kenapa kamu belum tidur, Nak?" tanya Nindy dengan suara lembutnya.

"Ini lagi mau tidur, Ma. Asna lagi ngobrol sama pangerannya Asna. Mama mau Asna kenalin?"

"Pangeran? Siapa sih dia yang bisa-bisanya mencuri hati tuan putrinya Mama?"

Asna menyodorkan foto seorang lelaki dengan outfit serba hitam. Jujur saja hal itu membuatnya terlihat sangat tampan.

"Bukannya ini anaknya Bisma. Yama bukan namanya?" tanya Nindy kepada Asna.

Asna mengangguk sebagai jawabannya.

"Kamu tenang saja, Nak. Mama akan usahakan agar dia bisa berada di pelukanmu. Papa sangat dekat dengan ayahnya Yama," kata Nindy meyakinkan Asna.

"Beneran, Ma? Janji," ujar Asna sambil mengulurkan jari kelingkingnya.

"Janji." Nindy pun meraihnya.

Selustrum (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang