Keributan di rumah kini terjadi lagi. Suara pecahan piring terdengar sangat bising di telinga Asa. Siapa lagi kalau bukan ulah Nindy. Lagi-lagi Nindy dan Herdi bertengkar, karena adanya perbedaan pendapat diantara mereka. Keduanya memang sangat keras kepala dan tidak ada yang pernah mau mengalah.
"Pokoknya kamu harus bisa membuat Asna bertunangan dengan Yama!" tegas Nindy yang membuat raut wajah Herdi merah padam.
"Asna itu masih sekolah, kenapa kamu selalu bersikeras untuk menjodoh-jodohkannya. Biarkan dia memilih lelakinya sendiri!" tegas Herdi yang tak mau kalah dari Nindy.
"Mas... Anak kita Asna mencintai Yama, putranya Bisma. Aku gak mau Asna sedih, jikalau nantinya Yama akan dijodohkan dengan perempuan lain!"
Herdi berfikir sejenak, jika memang Asna menyukai Yama kenapa tidak dari sekarang saja ia mencoba membahas hal ini dengan Bisma. Herdi dan Bisma merupakan teman baik, mereka berteman sejak di bangku SMP.
"Baiklah, akan aku coba bicarakan hal ini dengan Bisma."
Mendengar hal itu membuat Nindy tersenyum penuh kemenangan. "Akhirnya, putriku tersayang akan bisa bersanding dengan cintanya. Apa pun akan Mama usahakan jika hal itu mengenaimu Asna."
***
Akhir pekan Asa tak seindah akhir pekan orang lain. Kebanyakan dari mereka yang memanfaatkan hari ini untuk berefreshing, namun hal ini berbeda dengannya. Kini Asa disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan rumah. Dimulai dari menyapu, mengepel, memasak, mencuci piring, menyiram bunga, mencuci mobil, dan lain sebagainya.
Hal ini dikarenakan Bi Irah sedang cuti untuk beberapa hari. Jadi, semua pekerjaan rumah dibebankan kepada Asa. Ingin rasanya Asa mengeluh, tetapi ia juga tak ingin berdebat dengan Nindy. Hal itu pastinya akan memperpanjang masalah.
"Asa! Kamu itu dari tadi ngapain aja? Mana makanannya? Asna sudah kelaparan!" teriak Nindy di meja makan.
"Maaf, Ma. Asa baru aja pulang dari pasar, karena stok bahan makanan habis. Makanya Asa gak bisa langsung masak," jelasnya sembari membawa masuk semua barang-barang yang tadi ia beli."Ck! Alasan aja kamu! Makanya bangunnya lebih pagi!" Nindy berdecak kesal.
Asa hanya bisa menghela nafas, rasanya ia sudah tak punya tenaga lagi jika harus beradu mulut dengan Nindy. Padahal Asa sudah bangun lebih pagi dari biasanya.
"Mama jangan kasar gitu sama Asa. Kasian dia...," pinta Asna kepada Nindy.
"Sudahlah... Kamu gak usah mengasihani dia. Biarkan Asa yang mengerjakan semua pekerjaan rumah, biarkan dia mandiri."
"Kamu harus banyak istirahat ya sayang. Mama gak mau kamu sakit, Mama bakal sedih kalau hal itu terjadi sama Asna." Nindy mengelus surai Asna dengan lembut. Asa yang melihat itu sangat sedih, kenapa kedua orang tuanya pilih kasih. Apa salah Asa sebenarnya?
"Ngapain kamu lihat-lihat? Udah cepetan masak!"
Asa buru-buru menyeka air matanya. "I-iya Ma."
***
"Bisa melihatmu dari jauh adalah anugerah terbesar bagiku Asa. Kenapa kamu gak bisa merasakan kehadiranku? Apakah sebegitu istimewanya dia di dalam hidupmu?"Lelaki itu menghela nafas kasar, ia sudah cukup sabar menunggu perempuan yang ia cintai selama 5 tahun ini.
"Cintaku datanglah padaku, aku berjanji akan selalu menjagamu sampai aku mati."
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!"
"Mengapa harus Asa?" tanya lelaki berkulit langsat kepada lelaki yang kini tengah duduk di dekat jendela kamarnya.
Ditanya seperti itu oleh temannya, ia tersenyum getir. "Seharusnya lo gak nanya gitu ke gue. Mengapa bukan Asa? Itu baru pertanyaan yang pas," jelasnya.
Mendengar jawaban itu, lelaki berkulit langsat itu terkekeh, "bener-bener udah bucin akut temen gue. Semoga lo bisa dapetin tu cewek.""Aamiin ya Allah... Semoga," ucapnya penuh harap.
"Kenapa lo lebih memilih memendam daripada mengungkapkan cinta lo ke dia? Apa lo takut?"
"Gue sama sekali gak takut, bro! Gue cuma gak mau bikin dia bingung, harus memilih antara gue atau Titan. Ya secara gue juga gak kalah kerennya sama dia."
"Narsis lo!"
"Lah emang kenyatannya," ujarnya terkekeh.
"Dan satu hal lagi... Lo harus awasin terus si Satya. Gue gak mau identitas gue diketahui oleh Asa, lo ngertikan maksud gue?"
"Kalian berdua gak perlu ngawasin gue, gue ada dipihak lo pada," Kata Satya yang tiba-tiba sudah berada diambang pintu.
"Bagus kalau itu keputusan lo, selamat datang di BLACK MOON."
Mendengar hal itu Satya tersenyum senang, karena kini ia telah menjadi bagian dari mereka. Dan kini tak ada yang perlu ia gelisahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selustrum (On Going)
Teen FictionSEBELUM BACA, DIHARAPKAN UNTUK FOLLOW TERLEBIH DAHULU. JANGAN LUPA UNTUK VOTE DAN KOMENTAR. Kita adalah sepasang luka yang mengharapkan sebuah kebahagiaan, di atas luka yang takkan pernah tersembuhkan. Bagaimana perasaan kalian jika selalu dibeda...