"KENAPA ETHAN?!"
Lagi-lagi Jennie merefresh halaman website ini tanpa ada yang berubah. Jennie menghela nafas kasar mematikan layar ipad. "Kenapa Ethan dari sekian banyak cowok!?"
"Kan udah gue bilangin pasti lo bakal end up sama gue," sahut Ethan yang tiba-tiba duduk di kursi kosong samping Jennie. "Don't you think love will grow between us?"
"Love? Wow. Pala lo udah ketabrak pohon mana Than?"
Ethan tersenyum dan mengambil kotak box confess yang sudah banyak diisi oleh mahasiswa. Satu kertas ia buka dan memasangnya di papan confess hitam sebelahnya. Lanjut ke kertas kedua, ketiga, keempat, hingga Jennie merebut box itu dari Ethan. "Booth lo pasti rame, balik aja dulu."
"Ada Vano kok. Dia bantu jagain pendaftaran sampe mulai meet sama guenya jam 4 sore."
"Lo bikin fanmeeting?"
Ethan mengangguk sebagai jawaban. "Mau daftar juga?"
"Dih, ngapain daftar kalo setiap hari ketemunya juga sama lo," cibir Jennie diikuti tawaan Ethan yang membenarkan. Suasana diantara keduanya mulai mencair. Ketegangan perlahan hilang seiring obrolan berlangsung.
"Tapi fanmeet yang gue bikin bukan fan service biasa. Gue sediain tempat buat orang-orang juga yang mau cari koneksi dan belajar lebih dalam tentang industri musik sih, Jen."
"Kalo gitu untungnya buat lo apa?"
"Hmm━ gak ada. Bikin sesuatu yang buka kesempatan buat orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri gapapa kan? Kalo gue bisa jadi bagian dari hidup mereka yang berguna━ kayaknya that's enough for me."
Jennie tertegun dan sejujurnya kagum. Ethan adalah orang baik. Ingin sekali Jennie lontarkan pujian itu, hanya saja rasa gengsi masih sangat melekat dalam hatinya.
"Sepatu lo gimana?" tanya Ethan tiba-tiba.
"Hah?" Gak ada angin, gak ada hujan. Jennie salah tingkah menyembunyikan kakinya di bawah kursi. "Gak papa."
Melihat respon Jennie yang jelas terlihat malu, Ethan merogoh tas training di sampingnya, mengeluarkan tas sepatu.
"Pake," suruh Ethan memberikan sandal slip on, ditaruh di sebelah kaki Jennie.
"Udah biarin a━"
"Pake."
"Liat sana dulu."
"Ngapain?"
"Ya mau ganti sepatu!"
"Iya, lo ganti sepatu. Bukan ganti baju. Ngapain gue harus nengok ke sana?" tanya Ethan berlawanan dengan tindakan yang dia lakukan. Justru sekarang Ethan menuruti ucapan Jennie untuk tidak melihat dirinya ganti sepatu.
Jennie dengan cepat mencabut ikatan tali sepatunya dan mengungkapkan segala kekacauan hati dan pikiran. "Malu tau dari kemarin! Puas? Lo nanya mulu makin pusing otak gue tau gak? Udah tau orang malu, gak usah sengaja ditanyain mulu sampe pojok lah. Gue stres gara-gara lo semaleman! Muka lo mulu yang muncul setiap gue merem, ish."
"Lo mikirin gue?" tanya Ethan tersenyum dibalik punggungnya yang membelakangi Jennie.
"Gak gitu!"
Ethan membalikkan badannya menatap Jennie lebih dekat penasaran. "Terus apa?"
"Mm━ i-itu━" Mata Jennie menyelidik sekelilingnya untuk beralih. Hingga satu objek tertangkap menjadi penyelamat. "INI!"
Jennie menunjukkan buku catatannya berisi daftar orang-orang yang datang menggunakan jasa booth-nya untuk mengakui perasaan. "Ini━ banyak kan? hehe bucket list gue ada di halaman terakhir," kekeh Jennie terpaksa menunjukkan giginya tersenyum lebar.
Ethan menatapnya intens ke buku yang dia tunjukkan. Berhasil! Jennie melompat girang dalam hatinya, sampai satu kalimat terlontar. "Yaudah, besok kita mulai dari yang pertama."
"Besok? Kita?"
"Iya, kita."
"Kenapa lo lagi sihhh? Kenapa seneng banget ganggu hidup gue!?" gerutu Jennie menutup muka. Kepalanya terasa panas. Matanya terasa basah. Jennie sudah benar-benar ada di puncak emosinya yang dia sendiri pun tidak mengerti. Entah ini senang dan marah atau perasaan yang terpendam setelah sekian lama dipendam meledak.
━
20:00 P.M.
Jennie masih di sini, di hari ke-3 acara berjalan, Jennie mulai takjub dengan hasil kerjanya yang ternyata banyak disukai oleh orang-orang.
Sebagai partner susah senang miring sedih, Lia menemani Jennie di kampus untuk mendampinginya semalaman. Mereka memutuskan untuk menginap seperti beberapa pengisi acara lainnya yang tidur di ruang tersedia.
"Bawa handuk gak?" tanya Jennie.
"Oh iya━"
"Terus gimana mandinya odong!!"
"Pake tisu dah, Jen."
"LIAAAAA," teriak Jennie merangkulnya keras, mengacak rambut temannya itu berantakan.
"JEN JEN JENNN!"
Tidak berhenti juga pertengkaran mereka. Satu nama yang dibisikkan Lia akhirnya membuat Jennie diam, "Ada Ethan."
Jennie menengok ke arah pintu pelan, merapikan rambutnya.
"Are you okay?" tanya pria bertubuh tinggi itu di ambang pintu. "To make it clear, ini ruang tunggu gue ada namanya di depan. Jadi it's not my fault buka pintu tanpa ngetok dan liat lo disini ternyata lagi━"
"Okay gue pindah," potong Jennie.
Belum sepenuhnya beranjak berdiri dari posisi duduk, kaki Jennie yang menyilang menahan tubuh, kini kembali duduk. Ethan terlebih dulu menutup pintu. "Apaan sih?"
Jennie meraih hpnya, mencari nama yang dituju. Jarinya menekan sambungan dengan kontak nama emoji kodok di layar. "ETHAN!"
"Males beresin, udah berantakan sama lo ruangannya."
Tuuut tuuut tuut...
"Wah━"
Jennie tertawa tak menyangka omongannya diputus dari sebrang sana. "Mau gue blender rasanya."
Ethan tak banyak bicara, ia memahami situasi Jennie. Lebih baik dirinya yang capek untuk melangkah ke tempat lain daripada harus melihat perempuan yang disayanginya menguras lebih banyak energi di saat hari ini sudah cukup melelahkan.
Bentar━ perempuan yang disayang?
"She's the only one for me."
━
apa bucket list (wish) yang pengen kalian lakuin sama si diaa?
ditunggu next chapternya ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bucket List
FanfictionSemua berawal dari ide Jennie yang menawarkan siapapun untuk bisa mewujudkan bucket listnya seperti orang "pacaran" di papan confess. Hanya satu yang bersedia, Ethan Alderick. Laki-laki yang tak pernah akur dengannya kini justru menjadi sosok yang s...