Ruangan penuh dengan coretan dan cat warna warni di dinding. Jennie dan Ethan memasuki tempat itu dengan jas hujan bening yang sudah mereka gunakan. Ujung kuas mulai menyentuh kanvas bersih, menari pelan pada setiap goresannya.
Ethan terus memutar kanvasnya, mencari posisi yang enak untuk melukis. Sikunya menyenggol lengan orang di samping tak sengaja. "Than!"
"Eh sorry-sorry," ujar Ethan langsung menengok.
Jennie dengan cepat menyoret tangan Ethan dengan kuas cat warna kuning, menjulurkan lidahnya iseng melihat reaksi Ethan yang sudah greget.
"Untung sayang," balas Ethan menyiprat cat yang dia pegang di kuas, menempel pada jas hujan yang dipakai Jennie.
"Lu barusan confess?"
"Confess?" tanya Ethan sendiri dalam hati, "IYA JUGA YA. GUE BARUSAN CONFESS?!"
Ethan terdiam sebentar menata kalimat di otaknya.
"Sorry, Jen. Gue lagi―"
"I like you."
Lagi-lagi Ethan bungkam dengan matanya yang membelak sedikit. Beda dengan jantungnya yang berdebar kacau. Ia tak menyangka cewek di depannya ini akan membalas perasaan yang sudah lama Ethan pendam. Tapi ia tak mau mudah percaya, Jennie bukan orang yang segampang itu melunak.
"Haha nice joke," respon Ethan mengacak rambut Jennie, menganggap ucapan lawan bicaranya santai.
"Gue serius, Ethan."
"Sejak kapan?"
"Gak tau. I just knew it last week."
"Jen, kalo kita berantem bercanda hal sepele gapapa deh. Jangan perasaan. Lo tau kan resikonya kalo main perasaan gimana?"
"Gue harus ngapain supaya lo percaya?"
"Gue harus ngapain supaya lo sadar?"
"Stop copying."
Jennie lanjut melukis kanvasnya, beralih dari tatapan mata Ethan. "Perasaan lo gimana?" lanjut Jennie.
"I like you since we first met."
"Lo gila?!"
"Apa? Lo suruh ngaku kan? Jangan salahin gue dong."
"Cih."
Setelah akhirnya 30 menit terlewat, mereka berjalan keluar, berakhir di hutan kota GBK sambil duduk menunggu matahari terbenam. Sejak tadi, Ethan dan Jennie menyadari hubungan yang sekarang menggantung.
Ethan merasa canggung. Matanya tak bisa menatap Jennie. Tapi mulutnya bergerak tidak sinkron, "Shall we?"
Muka Jennie tidak bisa bohong.
Apa?! Shall we apa? Jangan bikin gue ketar ketir lo, Ethan! teriak Jennie dalam hati.
"Pacaran."
Wah, semudah itu kata yang terucap dari mulut Ethan keluar. Nyatanya, kata itu sudah dia pikirkan dari awal keduanya bertemu. Suatu kelegaan akhirnya Ethan bisa mengucapkan ini.
"Lo ga cocok jadi komedian!" ujar Jennie memukul lengan keras Ethan.
Yang dipukul hanya meringis pelan. "Gimana?"
"Lo serius?"
Ethan mengangguk. Raut wajahnya benar. Jennie melihat keyakinan dari Ethan. Tapi cowok di sampingnya ini terlalu sering bercanda hingga Jennie pun tak tahu apa yang sebenarnya ada dalam pikiran Ethan.
"Ayo," jawab Jennie dari lubuk hatinya berharap ini bukan prank.
"Wait, really?"
"TUH KAN BOONG YA LO!"
"Enggak, gak. Bentar. Gue masih gak percaya we're officially a real couple."
"Gue juga gak percaya bucket list gue yang ini bisa terkabul."
Ethan tersenyum puas. Tugasnya berhasil dijalankan dengan baik sekaligus keinginannya yang terwujud.
―
Selanjutnya adalah halaman berikutnya dari kisah mereka yang baru saja dimulai.
Rimbun pohon menutupi sebagian dari cahaya lampu jalan malam. Ethan menyusuri pinggir jalanan luas ini satu per satu melewati rumah. Hingga sampai di depan pagar tinggi berwarna hitam. Lampu depan tidak menyala tapi Ethan dengan jelas bisa melihat ada kehidupan di dalam rumah dari salah satu jendela kamar.
Tangannya mulai masuk ke sela-sela pagar dan membuka pintu gerbang pelan. Kakinya melangkah semakin dekat ke pintu. Belum sempat mengetuk, seseorang sudah membukanya. Ethan memandang orang di depannya saksama. Tidak ada yang asing. Farel, adiknya tetap sama seperti sosok yang dia setiap hari temui dulu.
"Ada makan gak?" tanya Ethan langsung menerobos masuk.
"Keluar."
"Di apart gak ada makanan gue." Ethan melangkah masuk tanpa hirauan cegatan Farel yang dia lewati.
"Gue gak izinin lo masuk."
"Apa lo bilang?"
"Keluar."
Ethan menatapnya mulai panas. "Ini rumah papa mama, bukan lo."
"Gue anaknya papa mama."
"Lah gue juga anaknya. Berarti bukan hak lo buat ngatur gue keluar dari rumah ini kan?"
Tangan Farel meraih kerah baju Ethan kasar tak tahan. Kepala Ethan terpojok keras ke tembok. Tidak ada yang terluka, Ethan merasa pandangannya burem sebentar dengan serangan yang tiba-tiba.
"I was never a mistake. Lo penyebab semuanya anjing!"
"Lepasin."
Semakin erat tangan Farel mencekik Ethan. Justru sekarang Ethan melayangkan kepalannya pada muka Farel. Mukanya lebam. Farel memegang wajahnya sambil melihat Ethan penuh dendam. Satu tangannya merogoh kantong celana, mengeluarkan benda tajam yang pelan-pelan diarahkan ke depan.
"Lo lagi, lo lagi. LO MULU!! Selalu yang dipentingin siapa? Gue kapan? Gue gak pernah sekalipun dibantu sama lo kalo ada apa-apa. Papa mama benci gue dan itu salah lo."
Ethan dengan hati-hati mengarahkan tangannya ke depan, sambil gerak menyuruh Farel menurunkan benda kaca.
"Rel, lo gak pernah dibenci. Lo salah dan semestinya ditegur, gak ada yang benci. Liat tuh, lo konsumsi itu terus gue harus bela?" tunjuk Ethan pada sebuah bubuk putih yang tergeletak di meja, narkoba.
Bukan berhenti, Farel melangkah maju hendak menusuk leher Ethan. Namun tangannya tertahan dan masih dengan kekuatan penuh ia terus mendorong, mereka beradu tenaga.
"Rel."
"DIEM!"
Ethan akhirnya mendapat peluang untuk mendorong Farel jauh dari depannya. Kakinya menendang pecahan kaca yang jatuh ke lantai itu jauh dari jangkauan mereka. Ethan rasa situasi ini sudah di luar kendali.
"Lo yang punya dendam, jangan nyalahin orang lain benci sama lo!"
Ethan bangkit dari tubuhnya yang terjatuh merapikan kerah baju yang lecek. Mata Farel masih pada gerak-gerik Ethan beranjak keluar pintu.
"Jangan pernah muncul di depan gue lagi."
"Jangan mancing kalo gitu."
Masalah yang sejak lama dipendam meledak seperti bom waktu. Kejadian demi kejadian menimbulkan kebencian mampu mendorong seseorang sampai pada tahap terakhir.
Kedua saudara ini berakhir seperti ini.
Tanpa ada kejelasan dan ujung dari pertengkaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bucket List
FanfictionSemua berawal dari ide Jennie yang menawarkan siapapun untuk bisa mewujudkan bucket listnya seperti orang "pacaran" di papan confess. Hanya satu yang bersedia, Ethan Alderick. Laki-laki yang tak pernah akur dengannya kini justru menjadi sosok yang s...