Brak!
Jennie membuka matanya sipit mendapati kaki Ethan yang tersenggol meja saat hendak duduk di sofa depannya. Sunyi. Ruangan ini hanya dipenuhi suara detik jam, gesekan kertas, dan AC sekarang.
Gimana bangunnya gue kalo ada dia di sini?
Matanya kembali terpejam dengan isi otak yang penuh berpikir cara untuk mengusir Ethan.
Tapi― tidak ada.
Ethan duduk dengan kakinya yang menahan siku tangannya sambil membaca sesuatu dalam sebuah lembaran file kertas yang dipegang.
"Mana Lia sih?" tanya Jennie dalam hati. Dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri tentang perasaannya sekarang. Jantungnya semakin berdegup kencang berada di atmosfer yang sama hanya berdua dengan Ethan. Herannya, kenapa Ethan udah rapi di sini.
"Emmm." Jennie merengangkan ototnya, mulai membenarkan posisi duduk.
"Enak tidurnya, hm?"
"Lumayan."
"Muka lo kayak disengat lebah."
"Kalo ngomong emang gak bisa disaring dulu ya lo?"
Ethan bangkit dari sofa, mengacak rambut Jennie pelan melewatinya. Jennie terbeku. Antara sadar dan tidak sadar, Jennie tidak bisa berpikir jernih dengan degup jantungnya yang masih belum tenang.
"Btw kok lo udah di sini?"
"Udah jam 10."
"HAH!?" Jennie melirik jam dinding di dekat pintu kaget. "Gue telat buka booth dong!"
Masih dengan kaos oversize dan celana tartannya, Jennie tergesa-gesa mengeluarkan spray rambut, lotion, dan sisir dari dalam tas.
Ethan yang hanya melirik merogoh sendok dari kulkas menyeringai, "Tenang aja, udah gue urus semua. Vano sama Lia yang jagain booth lo."
Tangan Ethan memegang sendok dan menempelkannya pada pipi Jennie. "Kompres, nih. Supaya gak dikira abis digigit lebah."
"Lebah mulu, lo kodok." Jennie mengambil alih sendok itu dan kembali duduk di kursi sofa setelah mendengar semuanya aman. "Thanks, Than."
"Pelan-pelan aja, jangan grasak grusuk."
"Lo kenapa gak bangunin gue deh?"
"Lo pules banget, Jen. Muka lo tuh kayak―" Ethan memperagakan muka Jennie saat tertidur menempel pada bantal nyenyak dengan pipinya yang tertekan. "GITU!"
"Gak tega gue bangunin."
Jennie terkekeh malu. Namun beberapa detik kemudian ia teringat akan tingkah jail yang biasa dilakukan laki-laki di hadapannya ini. "Lo gak foto kan?"
"Gak lah."
"Tumben."
"Emang mau difoto?"
"Bukan gitu. Eh tapi―" Jennie memajukan duduknya penasaran. "Lo ada utang ya sama gue?"
Ini anak gak peka atau pura-pura bego ya? batin Ethan. "Banyak."
Jennie terlihat bingung, menyenderkan tubuhnya ke sofa lagi. "Bayar sekarang aja, daripada harus ketemu gue mulu."
"Yaudah, nanti sore."
"Sekarang aja, ribet banget?"
Belum dijawab, Ethan melangkah ke luar pintu. "Mau tampil dulu, pokoknya siap aja nanti," ujarnya tersenyum.
"Maksudnya?"
―
Tidak ada kejelasan dari Ethan. Bahkan pesan yang Jennie kirim tidak dibaca sama sekali. Pilihannya hanyalah menjalankan aktivitas seperti biasa dan keliling kampus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bucket List
FanfictionSemua berawal dari ide Jennie yang menawarkan siapapun untuk bisa mewujudkan bucket listnya seperti orang "pacaran" di papan confess. Hanya satu yang bersedia, Ethan Alderick. Laki-laki yang tak pernah akur dengannya kini justru menjadi sosok yang s...