8 - what if

60 18 6
                                    

"Apa senyum-senyum?"

"Gak usah cemberut gitu kali."

"Kita dikunciin beneran!" bisik Jennie kesal di balik pohon, mengintip gerbang yang dikunci. 

"Tinggal manjat kalo mau pulang."

"Tanggung jawab kalo gue gak bisa."

Suara sepatu terdengar, Ethan kembali mendekap mulut Jennie berusaha untuk tidak ketahuan dibalik objek besar. Perlahan langkah semakin jauh, kini Ethan membawa Jennie pergi menyusup ke kampus. Satu-satu ruangan dilewati, hanya sedikit lampu yang masih menyala. 

Pintu kaca ia dorong lalu membaca setiap nama ruangan. 

"Kuncinya kok ada di lo?

"Kan waiting room gue," unjuk Ethan pada nama yang terpasang di samping pintu. 

"Pengurusnya tau?"

"Tau."

Sebelah tangan Ethan mencari tombol lampu untuk menyalakan ruangan. Tangannya terus merambat pada tembok dan TAK!

Suara teriakan terdengar begitu jelas dalam ruangan ini. Bukan Jennie dan Ethan, justru mereka menatap dua orang di depannya ini penuh tanda tanya. "LO BERDUA NGAPAIN!?"

"KAGET BANGKE!" teriak Vano.

"Lo utang cerita sama gue, Li." Jennie mengarahkan jarinya pada Lia yang masih bersender pada sofa itu disamping Vano. Ethan ikut tertawa melihat kebetulan ini. Entah apa yang dipikirkan temannya itu sampai bisa menyusup. Yang jelas Ethan tau Vano dan Lia adalah the new lovebirds.

"Diem ato gue usir," ancam Ethan melihat Vano ngobrol dengan Lia terus menerus. 

"Ajak lah cewek lo. Chill out bro, you're not like this."

Benar-benar ingin Ethan tendang sekarang rasanya. Memang betul, Ethan tidak biasanya gengsi di depan cewek seperti dirinya sekarang yang tak mulai bicara satu katapun dengan Jennie. 

Tapi bersama cewek yang dia sukai, Ethan rasa ini adalah sesuatu yang baru. Apalagi keduanya baru bisa akur beberapa minggu ini. Ethan lebih suka privasi. Dia akan lebih banyak berbicara saat hanya bersama Jennie, berdua. Padahal pekerjaannya adalah menjadi perhatian orang-orang, mungkin itulah alasannya. 

Tidak semua hal ingin ia perlihatkan, sekalipun pada temannya. 

"Keluar yuk?" 

Jennie mengganguk. Akhirnya mereka beranjak dan perlahan keluar, berusaha melangkah tanpa suara saat sudah berada di lorong. Tak ada tujuan pasti apa yang akan dilakukan, mereka hanya berjalan menyusuri koridor lantai demi lantai.

Berbeda dengan lobby yang masih diterangi lampu, koridor di sini hanya diterangi oleh cahaya yang masuk melalui jendela kaca. Saat keduanya memandang lurus, dua pasang mata bertemu. Ethan dengan jelas menemukan mata yang tidak asing. 

Langkahnya terhenti membuat Jennie bertanya beberapa kali. "Than. Ethan, kenapa?"

Tidak ada jawaban. Lirikan sedikit pun tidak. Sosok itu sudah pergi menyisakan loker yang terbuka. 

"Lo liat tadi?"

"Iya. Anak kampus yang nginep juga kali?"

"Bukan."

"Hah?"

Ethan menghampiri loker itu, melihat ke dalam. Semua barangnya ada tapi satu yang menarik perhatiannya.

Tangan Ethan menyentuh dengan ujung foto cetak itu, mengeluarkannya untuk melihat lebih jelas. Beberapa bercak merah menempel lekat, coretan pada seluruh bagian muka orang di foto itu begitu kasar. Matanya berlinang berusaha mencerna. 

"Ethan." Jennie menahan lengannya yang melemas. Ia ikut melihat apa yang Ethan pegang saat menyadari bahwa loker ini adalah milik Ethan. 

"Adik lo?"

Jawaban anggukan Ethan sudah menjawab satu dari seratus yang ingin ditanya Jennie. Hanya saja, sekarang bukanlah waktu yang tepat. 

Nafas Ethan semakin cepat, tak terkontrol. Kepalanya penat. 

"Than!" 

Jennie tidak bisa bohong, kini ia sangat khawatir. Tidak ada satu orang pun di sini. Kondisi Ethan semakin parah. Jennie mengarahkan Ethan untuk duduk sebentar, bersender pada loker, meraih tengkuk dan membengkam mukanya pada pundak Jennie. 

Satu. Dua. Tiga. Empat. 

Tepukan pelan di punggung Ethan berhasil menenangkannya. Jennie masih dalam kondisi memeluk. Namun tak lama kemudian, Ethan melepaskan diri.

Di bawah cahaya remang yang menyulitkan Jennie untuk bisa melihat dengan jelas muka Ethan, Jennie langsung mengambil alih foto itu saat Ethan hendak mengambilnya lagi di lantai. 

"Ini saus tomat," ujar Jennie mencolek pelan salah satu bercak merah itu sebelum mencium baunya. 

Setidaknya bukan darah beneran, puji Tuhan. 

Tapi kenapa coretan pada Ethan di foto ini sangat brutal? Tersisa sosok adiknya yang jelas bersih di sampingnya. 

Seperti sebuah gesekan pisau yang memotong sedikit bagian tengah foto ini. Jennie sedikit bergidik ngeri.

"Sorry, i know you have a lot of questions now. I'm truly sorry."

"No, don't be." 

Jennie mengerti. Ini bukan masalah sepele bagi Ethan, Jennie anggap itu sebagai sesuatu yang sangat menganggu mentalnya selama ini. Jauh di lubuk hatinya, Jennie menyesal. Kalau saja ia bisa hadir lebih cepat untuk cowok yang bersender padanya ini.

Ada apa sebenarnya?


thank youu buat yang setia vote dan baca <3

Bucket ListTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang