21 ~ The War is Beggining

16 4 1
                                    

Perlahan gadis itu membuka mata. Gelap gulita yang ditemuinya. Ia hanya bisa melihat dirinya sendiri jua tali-temali merah pekat mengelilingi dirinya.

Apa yang terjadi denganku?

Aku ada di mana?

Aku... siapa?

Ia tidak bisa mengingat apa pun. Sebab kehendaknya telah mati suri. Tubuhnya tengah dikontrol oleh benang merah itu. Walau tidak ada yang menerangkan, ia mengerti dengan sendirinya. Insting seorang perempuan? Pikirnya begitu.

Namun tali-temali merah pekat itu semakin banyak, mendekat, melilit tubuh hingga ia tidak bisa bergerak.

Sesak....

Tolong....

Siapa saja tolong aku!

*

*

Semakin dekat menuju Tokyo Tower, semakin jelas terdengar alunan lagu tak beraturan itu menggema kepalaku. Akan tetapi, samar-samar aku mendengar suara seseorang--liriknya? Aku tidak yakin, tapi jelas dia meminta pertolongan. Dan aku yakin suara itu ialah suaranya Kayo.

Tiba-tiba saja Anko menghentikan kecepatan motornya, mulai menepikan kendaraan. Ia menengok ke arahku. "Tenaganya habis?" Ia berkata dengan suara tenang, tapi tetap tersirat nada kekesalan. Kepalanya mendongak, menatap langit yang penuh ditutupi awan gelap. "Motorku ini motor tipe lama, masih menggunakan tenaga surya. Sementara matahari...?"

Matahari telah tertutup awan. Aku turun dari motor, melepas helm. "Lalu bagaimana? Sesegera mungkin kita harus menyelamatkan Kayo!"

"Aku juga punya perasaan yang sama denganmu, Minori-chan, tapi...."

DUAR!!!

Dari jauh terdengar ledakan luar biasa. Aku mendongakkan pandangan, menatap Tokyo Tower yang terlihat berkilauan akibat kristal ungu. Tidak hanya itu, dengan mata telanjang sudah bisa terlihat adanya adu tembak di sana.

"Yakin, kamu mau ke sana, Minori-chan?" Anko bertanya dengan nada cemas. "Kita tidak mungkin masuk dengan selamat! Belum tentu Kayo di sana. Kenapa Kayo ada di sana?"

"Dia yang membuat virus terus berkembang, Anko-chan!" Aku bersikukuh.

"Hah? Jangan mengada-ada!"

"Percaya atau tidak, seakan aku terhubung dengan Kayo." Aku berusaha menjelaskan. "Selama beberapa hari ini suaranya selalu berdengung di telingaku. Ia meminta pertolongan! Ia terus bergumam dengan nada yang menyakiti otakku!"

"Tenanglah, Minori-chan! Suara itu hanya imajinasi karena kamu merasa bersalah--

"Aku yakin, Anko-chan! Percayalah! Tolong!" Aku mulai merasa frustasi. "Kalau kamu takut, lebih baik tunggulah! Aku bisa pergi ke sana sendiri!"

Anko menghela napas. Ia turut turun dari motor, menyiagakan standar. "Baiklah. Aku ikut. Kita harus cari cara aman agar bisa masuk ke menara. Karena bagaimanapun, tempat tertinggi di kota ini sudah menjadi medan perang."

Aku tahu, tidak mungkin bagi orang biasa masuk ke lingkar medan perang, apalagi tanpa memiliki senjata mutakhir. Pasti semua pintu masuk sudah dikepung oleh polisi dan tentara negara. Apa kita bisa masuk lewat 'bawah'?

Saat aku bergelut dengan pikiranku sendiri, Anko tengah mencari sesuatu lewat ponsel pintarnya. "Terpaksa meninggalkan motor. Tempat mengisi tenaga motor jauh."

Aku melirik kiri-kanan. Daerah ini sudah sepi. Tidak terlihat sosok manusia, hanya kendaraan pintu-pintu toko yang telah 'dilumuti' kristal. Mataku pun tertuju pada sesuatu. "Anko-chan, apa kamu bisa mengendarai jenis motor lain?"

Guilty Crown: The Righthand of Eve ~She's the Queen~ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang