Single For Life

29 4 0
                                    

Saat masih muda dulu, dengan percaya dirinya ia berkata, "engga nikah juga bisa. Sekarang saja bisa ini itu, lebih bebas juga."

Dia terkenal dengan motonya "single for life"

Namun, siapa sangka takdir berkata lain. Nyatanya single for life itu bukanlah sesuatu yang dapat dipilih. Tapi, ia memilih kepada siapa yang tabah menjalani kehidupan di dunia seorang diri.

Nyatanya, seorang bernama Park Jihoon yang selalu menggaungkan motonya, berakhir menikah juga. Seorang mahasiswi jurusan sastra yang lulus di tahun ketiga. Menjadi pematah motonya.

Kehidupan rumah tangganya berjalan baik, sangat baik. Hampir membuat semua merasa iri dengan keharmonisannya. Dikaruniai dengan putra putri yang baik, penurut, ramah, sopan dan santu.

Mereka mendidik anak sama kerasnya. Baik ibu ataupun ayahnya. Namun, mereka juga dipenuhi kasih dan sayang.

Anak-anak tumbuh dengan baik. Menjadi anak yang penurut dan tidak pernah berbuat ulah baik di sekolah maupun di rumah. Meskipun mereka kadang tidak mendapatkan nilai yang memuaskan. Karena bagi orang tuanya, bukanlah nilai yang menjadi patokan. Biar saja tidak terlalu baik dalam hal pelajaran. Namun, akhlak yang dijunjung tinggi dalam keluarganya, tingkah laku dan perangai haruslah baik.

Kehidupan manis itu berakhir. Semuanya kacau berantakan setelah perginya sang kunci rumah.

Istrinya telah pergi. Keadaan kacau balau. Seperti tidak pernah ada yang namanya keluarga harmonis. Semua berjalan masing-masing. Rumah hanyalah tempat untuk tidur. Tidak ada lagi obrolan hangat, candaan kecil yang memenuhi ruangan keluarga itu. Bahkan entah kapan terakhir kali mereka menyantap makan bersama.

Benar, memang. Ketika istri ditinggalkan suami. Apapun itu dapat ia lakukan sendiri, mengurus anak, mengurus rumah, mengurus diri bahkan sampai mencari nafkah yang mencukupi pun ia lakukan. Namun, ketika suami ditinggalkan istri. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan. Yang diketahuinya hanyalah bekerja, bekerja dan bekerja.

Entah kemana hilangnya skill mempertahankan hidup. Park Jihoon ini bukanlah lelaki yang tidak bisa apa-apa. Ia terkenal multitalent, memasak bisa, bersih-bersih jangan diragukan, mengurus anak juga dapat diandalkan. Apa lagi yang kurang?

Dahulu ia berkata tidak akan menikah karena yakin akan kemampuan dirinya. Bahkan dia sudah mempersiapkan rancangan dana untuk masa tuanya, rumah masa tua, beberapa pekerja yang membantunya sampai hal apa saja yang akan ia lakukan.

"Untuk apa mempunyai istri? Aku bisa melakukan semuanya, memasak, bersih-bersih, mengatur keuangan, yang paling penting adalah kebebasan. Anak? Kalau ingin ya bisa merawat dari panti."

Berbeda dengan yang ia katakan sekarang.

"Al, aku menyerah. Aku tidak bisa apa-apa. Bahkan aku tidak bisa menjadi ayah yang baik bagi anak kita," ujarnya.

Keadaan rumah, sudah tidak bisa dikatakan rumah lagi. Lantai berdebu, jaring laba-laba sudah memenuhi dinding, cicak dan kecoa kesana kemari. Namun, tidak ada satu pun yang peduli.

Ada satu lagi kegiatan baru yang tida pernah terbayangkan. Anaknya berbuat ulah. Sering kali dipanggil oleh pihak sekolah karena ulahnya itu. Entah itu membuat keributan, merokok ataupun membolos. Anaknya bukan lagi menjadi anak baik.

Emosinya memuncak. Ketika sampai ke rumah, bentakan yang tidak pernah sang anak dengar. Kini mereka merasakannya.

"Kalian kenapa, si? Sekali saja engga bikin ulah, bisa? Apa yang ada di pikiran kalian? Menambah beban ayah saja."

Pikirannya tidak karuan. Sejujurnya ia merasa sangat kehilangan istrinya. Bahkan setelah dua tahun, Ia tidak dapat mengikhlaskan kepergian sang istri.

Ditambah lagi anak-anaknya yang makin lama makin tidak benar. Kelakuan si bungsu yang berubah menjadi seperti seorang gengster yang arogan. Si sulung, tidak lagi berlaku manis, pakaian yang dulu ia benci sekarang menjadi style-nya.

"Kalian dengan ayah? Berapa kali ayah bilang seperti ini? Tapi kalian anggap angin lalu. Apa anak ayah sudah ikut ibu semua? Ayah tidak pernah punya anak yang menjadi pembangkang."

Jika, bisa. Ia ingin kembali ke masa lalu. Tepat saat terjadinya kejadian tragis itu. Yang merenggut nyawa sang istri tercinta. Jika boleh, ia saja yang pergi, atau mereka pergi bersama. Dunia berat, yang dahulu dipikul bersama, kini hanya ia yang menanggungnya.

Awalnya ia berlaku baik pada anak-anaknya. Menempatkan diri sebagai ibu dan ayah. Namun, itu tidaklah mudah. Hingga lahirlah anak-anak mereka sekarang.

Kehilangan seorang ibu sangat berpengaruh kepada anak-anaknya. Si sulung selalu menanamkan pada diri bahwa dia harus menjadi anak baik. Ibunya telah tiada, sudah saatnya ia menjadi pengganti ibunya pada adik dan ayahnya. Namun, apa boleh buat, nyatanya ia tidak sekuat itu. Mereka semua seolah merasa menjadi paling kehilangan.

Ayahnya merasa telah bersama istrinya lebih lama dari pada anak-anaknya. Banyak hal yang tidak mudah diikhlaskan. Si bungsu beranggapan bahwa ia masih membutuhkan pelukan dan perhatian sang ibu. Mereka tidak berpikir bahwa si sulung pun sama kehilangannya.

Pada akhirnya si sulung milih untuk menghabiskan waktu di luar. Hingga bergaul dengan orang yang salah. Bertindak layaknya preman, selalu pulang larut malam, dengan pakaian yang tidak senonoh di pandang.

Bagi si bungsu. Ia hanya ingin diberikan kasih sayang, dimanja seperti saat bersama sang ibu. Ia belum terbiasa dengan kehidupan yang serba mandirinya. Berakhirlah dengan ia berteman dengan kakak kelas yang selalu memanjakannya. Namun, sayang lingkungan itu membawanya bertindak selayak gengster.

Yang paling menyesal adalah sang ayah. Moto single for life-nya benar-benar terjadi. Namun, ini berjalan tidak sesuai dengan yang ia rencanakan.

Kadang kehidupan tidak berjalan sebagaimana keinginan. Ada rasa ikhlas melepas motonya dengan berakhir menikah. Namun, ternyata keinginannya itu kini terkabul.

Ia menjalani kehidupan sendiri, seperti apa yang telah ia idamkan semasa muda. Terbiasa dimanja oleh sang istri. Rupanya ia menjadi seorang yang tidak berguna, pikirnya.

Apa yang salah? Dahulu ia adalah seorang yang bisa segalanya. Bukankah itu sesuatu yang menjadi jalan, untuk menjalani hidup sesuai rencanya dulu. Tanpa seorang pendamping, juga dengan kedua buah hatinya.

"Anak-anak ayo makan!" teriak sang Ayah dari dapur.

Tidak ada yang merespon semuanya berlalu tidak peduli pada ajakan sang Ayah.

"Hei, kalian! Denger ayah?" seru sang Ayah

Pada dasarnya mereka adalah anak yang penurut. Maka, melihat wajah ayahnya yang tidak bersahabat. Akhirnya memilih untuk makan bersama.

Bermula dari sana. Mereka saling terbuka. Mengobati rasa rindu mereka dengan sang ibu dengan berkumpul bersama. Seiring berjalannya waktu mereka dapat mengikhlaskan kepergian sang ibu, dan hidup seperti dulu.

Harapan sang ayah terwujud. Hidup sesuai motonya. Meskipun tidak lebih manis dari saat bersama sang istri. Setidaknya ini lebih baik dari pada dua tahun kemarin.

Selesai

Terima kasih telah membaca

Semoga bermanfaat

Kisah JTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang