"Aku ingin selalu bersamamu walau dalam mimpi sekalipun."
***
Aldebaran menyerahkan beberapa berkas kepada Rendi yang harus diurus nantinya. Al sudah bersiap untuk mengambil cuti agar bisa menemani Andin menuju proses persalinan. Untuk sementara, Rendilah yang akan menghandle pekerjaan Aldebaran.
"Saya sudah email ke kamu juga proposal yang harus ditinjau. Usahakan jika ada rapat yang memang mengharuskan saya hadir, tolong sambungkan lewat Vidio," kata Aldebaran.
"Baik, Pak."
"Oh, ya, Ren. Saya punya satu tugas untuk kamu."
Rendi menyimak dengan seksama tugas yang diberi Aldebaran. Setelah Al menjelaskan tugasnya, Rendi lalu pamit untuk melanjutkan pekerjaannya.
Sedangkan di rumah, Andin tengah menikmati rujak yang dibelikan Kiki sambil menonton drama. Ponselnya berdering menampilkan nama Pram di layar.
"Halo," ucap Andin.
"Hai, Ndin. Gimana kondisi kaki kamu?" tanya Pram.
"Udah nggak apa-apa, kok. Ada apa, Pram?"
"Aku cuma mau minta maaf aja sama kamu soal kemarin, aku nggak bermaksud apa-apa. Aku juga nggak minta kamu balas perasaan aku."
"Ya udahlah, lupain aja. Aku ngerti, kok."
"Makasih, ya, Ndin. Oh, ya..., Sebagai bentuk permintaan maaf aku, gimana kalau nanti kita launch?"
"Maaf, ya, Pram, aku nggak bisa. Mas Al nggak ngizinin aku keluar rumah," kata Andin menolak tawaran Pram.
"Yaudah, nggak apa-apa. Kalau gitu aku kerja dulu, ya." Pram mengakhiri panggilan, membuat Andin merasa lega. Jujur, setelah kejadian itu Andin menjadi overthingking ketika berbincang dengan Pram. Ia hanya takut akan ada kesalahpahaman yang akan terjadi.
***
Aldebaran meletakkan ponselnya dengan penuh kesal. Bisa-bisanya Pram masih berani menghubungi Andin, bahkan ingin mengajak makan siang dengan dalih meminta maaf. Untung saja Al sudah menyadap ponsel Andin, jadi ia bisa memantau gerak-gerik Pram.
"Ren, tunda rapat hari ini. Saya ada urusan," ucap Al ketika menghubungi Rendi.
Aldebaran lalu pergi menuju sebuah cafe. Sesampainya di sana, ia sudah melihat orang yang akan ia temui tengah duduk sambil bermain ponsel.
"Permisi," ucap Al. Orang yang ia temui itu menghentikan aktifitasnya.
Pram menjabat tangan Aldebaran. "Silakan duduk, Al."
Aldebaran memang sengaja mengajak Pram untuk bertemu dirinya. Ia hanya ingin mengingatkan kepada lelaki tersebut untuk tahu batasannya.
"Langsung aja, saya nggak mau basa-basi," kata Al.
"Ada apa, ya?"
"Andin sudah cerita sama saya soal kejadian kemarin malam dan saya harap kamu tahu batasannya."
Pram terdiam, ia malah terlihat tersenyum singkat mendengar perkataan Aldebaran barusan.
"Ada yang lucu?" tanya Al.
"Oke, aku minta maaf soal itu. Aku nggak ada maksud apa-apa, tapi emang murni ungkapan perasaanku sama Andin."
"Andin istri saya, dan anda nggak berhak berkata seperti itu kepada dia," ucap Aldebaran penuh dengan penegasan. "Kalau anda pikir berteman dengan Andin bisa lebih mendekatkan perasaan kalian, anda salah besar. Kelakuan anda itu menjijikkan dan saya tidak suka ada orang yang lancang mengutarakan perasaan kepada perempuan yang sudah bersuami."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Destiny Season 2
Fiksi PenggemarAldebaran dan Andin telah menemukan jalan pulang untuk menautkan hati. Kebahagiaan mengelilingi rumah tangga mereka. Namun, ada masa lalu yang belum usai kini tengah mengusik. Mampukan Aldebaran dan Andin melewati badai dalam rumah tangga mereka?