Hana mengetuk-ngetuk kaki, menunggu dengan tidak sabar selama satu menit. Perlahan dia meraih test pack yang dia taruh terbalik di atas wastafel. Hana memejamkan mata, membaliknya secara perlahan dan kecewa saat dia hanya menemukan satu garis di sana.
Mereka sudah berusaha selama enam bulan terakhir ini, namun hasilnya nihil. Merasa marah, Hana melempar test pack-nya sembarangan dan menangis. Dia tidak sadar kalau tangisannya mungkin terlalu kencang sampai Hans mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi karena cemas.
"Na, Cinta... Are you okay? Hana, open the door, please... Cinta...."
Hana menyeka air matanya, membuka pintu, namun tanpa keinginan untuk bangun dari lantai kamar mandi.
"Cinta... Kamu kenapa?" tanya Hans cemas melihat Hana bersimbah air mata. Dia menghampiri Hana, ikut duduk di sebelahnya dan memeluknya erat sambil sesekali mengecup puncak kepalanya.
Tangan Hana menunjuk lesu test pack yang tergeletak di dekat tempat sampah.
"Masih satu garis, Hans...." ucapnya sambil menahan tangis.
Hans tidak menjawab, hanya mengusap-usap punggung Hana untuk menenangkannya.
"Maaf ya, Suami... Aku tau kamu nunggu banget anak kita...." isak Hana.
"Hey, kenapa harus minta maaf, sih? Gak ada yang salah, kok, Na...." ucap Hans lembut.
Hana mendongak menatap suaminya. "Kalau aja aku gak minta untuk nunda anak, mungkin...."
"Na, stop!" Potong Hans seketika. "Keputusan untuk menunda anak itu berdasarkan kesepakatan kita berdua. Kita yang mau fokus sama karir dulu, mau fokus penyesuaian diri dari yang sebelumnya kita single dan akhirnya kita sama-sama sampai sekarang. Dan aku gak menyesalinya sama sekali, Na... Aku malah suka sama kondisi kita sekarang.
Kamu sadar gak, sih... Kapan coba terakhir kali kita ribut? Berantem karena hal receh?" tanya Hans.
Hana terdiam, mencoba mengingat-ingat lalu menggeleng. "I don't remember...." ucapnya pelan.
"Neither do I...." tegas Hans. "Nah, sekarang... coba inget-inget tahun pertama kita nikah," tambahnya lagi.
Tersenyum malu-malu, Hana menjawab. "Chaos!" ucapnya mengingat pertengkaran-pertengkaran yang terjadi hanya karena hal-hal kecil yang seharusnya tak perlu dipermasalahkan.
Tersenyum, Hans mengecup kening Hana. "Setidaknya kalau kita diberi rezeki anak sekarang, mental kita sudah lebih stabil. Dia akan tumbuh di rumah yang penuh cinta... Gak harus lihat orang tuanya ngambek-ngambekan gak jelas over everything."
Hana memaksakan diri untuk tersenyum walau rasa khawatir belum bisa hilang sepenuhnya. "Kalau aku gak bisa punya anak gimana?" gumamnya lirih sambil menunduk. Tak kuasa menatap wajah suaminya.
Kali ini Hans berlutut di depan Hana, tangannya memegang kedua pipinya, memaksa Hana untuk menatapnya. "I love you... I love you so much! Gak ada yang salah dari kamu. Bisa jadi masalahnya ada di aku, kan?"
"Hans...." Hana ingin membantah, namun tak sanggup melanjutkan ucapannya.
"Hanaaa... Kita baru usaha enam bulan, lho... Itu waktu yang singkat buat aku. Kalau kamu memang benar-benar khawatir, kita periksa aja, yuk! Berdua... Okay!"
Diam sejenak, Hana mengangguk ragu dan Hans tersenyum manis, membimbing Hana untuk berdiri kemudian memeluk dan mencium keningnya lama.
"Kamu memangnya udah telat berapa hari? Kok beli test pack?" tanya Hans setelah dia rasa Hana sudah jauh lebih tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ha-Ha The Alternate Universe (a very long journey)
Romancethis is a story about Hans and Hana in another universe.