Lima || Tanpa Melihat

44 35 23
                                    

Happy Reading

.
.
.

Pagi ini Jina ke sekolah diantar oleh Yena menggunakan mobil. Sepanjang jalan tak ada pembicaraan diantara mereka sampai akhirnya Yena yang lebih dulu membuka mulut.

"Lu kok tenang banget, padahal lu gak bisa liat apa-apa .. yang ada cuma kegelapan kan?" Yena mengintrupsi kesunyian diantara keduanya. Jina menengok kearah Yena meskipun tak dapat melihat Yena.

"Gak tau Yen, gua ngerasa hal ini kek udah pernah gua alami .. seolah gua udah terbiasa, jadi gua gak terlalu frustasi dengan keadaan kek gini" Jina mengarahkan tubuhnya kearah depan.

"Yah, mungkin tapi gua beneran kasian liat kondisi lu sekarang .. jadi inget pas dulu EH!" Yena membulat kan matanya. Ia merasa bersalah atas apa yang tak sengaja ia ucapkan.

"Dulu? Emang dulu kenapa?" Jina mengerutkan keningnya bingung. Apa yang dimaksud Yena? Memangnya dulu Jina pernah seperti ini?

"Oh, anu .. itu~ gua sempet kek gitu dulu! Hehe tapi gak lama, cuma seminggu hehe iya .. gue yang kek gitu"

"Apaan sih prik banget jadi orang!" Komen Jina, lalu ia kembali dalam mode diam yang mirip seperti orang bertapa. Diam dan tenang tanpa ada pergerakan sedikit pun.

.

Sampai di sekolah, Yena berniat ingin mengantar Jina sampai ke kelas. Namun gadis itu menolak dan bilang jika ia tau dimana kelasnya. Yena yang tak percaya terus menolak kemauan Jina.

"Gak usah ketu deh kalau dibilang ama yang tua! Lu tuh gak bisa liat jalan Jinaaaa! Gimana lu mau nyampe ke kelas! Mikir!!!" Yena dengan gemas nya menoyor pelan kepala Jina, sedangkan yang ditoyor terlihat tak terlalu peduli dan tetap meraba-raba udara.

Tangan kanan Jina memegang sebuah tongkat untuk membantunya berjalan, sedangkan tangan kanannya meraba-raba udara. Yena dan Jina masih saja bercekcok namun seseorang datang menengahi mereka.

"Udah! Mau sampai kapan berantem? Jina harus masuk kelas, kamu juga harus ke fakultas kan?" Itu pak Park, ekspresi Yena sedikit lega melihat pak Park.

"Ah sekarang udah ada paman Park, Yena jadi agak lega .. kalau gitu Yena titip Jina yak paman, Yena mau berangkat dulu .. byee" Yena pun langsung pergi setelah berpamitan.

"Saya mau jalan sendiri! Saya tau dimana kelas saya!" Ucap Jina dengan nada bicara yang datar. Lalu mulai mengarahkan tongkatnya.

Jina berjalan dengan perlahan, pak Park mengikuti dari belakang tanpa bersuara. Setiap ada yang berdiri menghalangi langkah Jina pak park akan memperingati mereka dengan tatapan mautnya. Dan alhasil jalan Jina begitu luas dan kosong, pak park sedikit kaget karna Jina benar-benar menemukan kelas nya sendiri tanpa arahan siapapun. Padahal mata nya tertutup.

"Ketua kelas?" Panggil Jina saat dirinya sudah memasuki kelas.

"Iya Jina?" Jawab ketua kelas. Jina mencoba mendekati ketua kelas dari jejak arah suaranya.

"Bisa tolong bimbing gua ke meja gua gak? Gua gak tau sekarang gua disisi mananya di dalam kelas!" Tangan kiri Jina terulur seolah mencari pegangan.

Murid lain berbisik benci satu sama lain. Mereka merasa iba tapi juga senang dengan keadaan Jina yang sekarang. Kebanyakan dari mereka tak suka dengan Jina karna keberadaannya selalu mengintimidasi siapapun. Walau kadang Jina hanya diam dan tak melakukan apapun.

"Iya, bisa .." ketua kelas menggenggam tangan kiri Jina lalu menuntunnya menuju meja milik Jina. Ketua kelas berusaha tak mau ikut campur terhadap rasa benci murid lain pada Jina. Mereka terlalu bar-bar.

"Thanks" balas Jina singkat setelah dirinya sudah duduk di kursinya.

"Hahaha .. si arogan yang selalu nge-intimindasi orang sekarang sakit! Karma kah?" Seseorang tiba-tiba bersuara cukup keras, membuat satu atensi kelas menatap kearah si pemilik suara. Lalu berganti menatap Jina.

The observer's storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang