"Cie yang udah jadi polisi. Aman deh kalo ni rumah kemasukan maling," ucap Taufan.
"Amit - amit! Bang Upan ih mulutnya!" keluh Gempa. "Ampun Gem."
"Lagian kok kamu tiba - tiba masuk sekolah polisi?" tanya Gempa penasaran.
[Name] hanya menggeleng. Padahal ia ingin bilang "nggak ada alasan khusus" entah kenapa hasilnya cuma menggeleng.
"Ck. Kalo ditanya orang dijawab napa," sahut Halilintar dingin.
[Name] tersentak. Tangannya kembali bergetar.
Ice yang menyadari itu langsung mengusap kepala [Name] dengan lembut.
"Cup cup cup. Bang Hali emang gitu. Kayak cewek PMS," celetuk Blaze yang langsung ditatap horor oleh Halilintar.
Plis Hali jangan galak - galak sama adeklu. Lagian ngomong kasarnya napa jadi kayak bawaan gini sih? Turunan siapa ini? batin Halilintar pada dirinya sendiri.
"[Name] besok ikut sama Duri yuk! Duri mau beli pupuk buat Daisy!" ajak Duri bersemangat. [Name] kembali mengangguk. Walaupun ia tidak tahu siapa lagi itu Daisy. Tapi ia yakin itu nama tanaman barunya Duri. Yah, itu memang kebiasaan Duri yang menamai semua tanamannya.
◇◇◇
"Akhirnya aku nggak bisa ngomong apa - apa."
"Lho? Padahal tadi kesempatan bagus banget."
"Nggak tahu. Aku nggak bisa ngomong kalo udah di depan mereka."
"Yaudah besok coba lagi aja. Lagian mereka juga udah bilang kalo mereka nggak marah sama lu."
"Tapi kayaknya Bang Hali masih belom maafin aku."
Halilintar yang ingin masuk ke kamar [Name] pun menghentikan langkahnya.
"Eh, udah dulu ya. Makasih Christine. Bye."
"Ohh? Oke. Bye."
Ya, [Name] menyadari ada seseorang yang berada di depan pintu kamarnya. Makanya ia menutup telepon. Walaupun ia tidak bisa menebak itu siapa. Instingnya semakin menajam setelah pelatihan bertahun - tahun.
Padahal tadinya Halilintar ingin bicara empat mata dengan [Name]. Tapi ia mengurungkan niatnya karena merasa ini belum waktu yang tepat.
◇◇◇
"Ayo, [Name]! Kita jadi beli pupuk kan?" ajak Duri bersemangat.
"Belom buka tokonya Bang. Astaga," sahut Solar.
"Lho. Kata orangnya toko buka besok. Sekarang kan udah besok?"
"Iya Duri. Tapi tokonya buka jam sepuluh. Sekarang masih jam enam. Mending kamu bantuin Abang bikin sarapan," jelas Gempa dengan sabar.
"Oooohhhhh..... Oke."
"[Name] bisa tolong bangunin Ice?" [Name] mengangguk. Baru saja ia ingin naik ke lantai dua, tapi kedamaian rumah lenyap seketika.
"Balikin boxer gue Taufan!" teriak Halilintar dari kamarnya.
"Minjem Bang! Punya gue abis!" Taufan balas berteriak.
"Buset boxer bisa abis. Dimakan Bang!? Buahahaha!" tawa Blaze pecah, semakin meramaikan rumah.
Taufan terus berlari sambil membawa boxer kakaknya dan menoleh ke belakang, takut Halilintar mengejarnya.
Buaghhh
Mahakarya pun tercipta. Penggorengan yang sekarang menjadi cetakan berbentuk wajah Taufan.
Tentu saja, Taufan langsung terkapar dengan benjolan besar di kepalanya. Bahkan ia sempat melihat beberapa bintang yang berputar di kepalanya.
Solar yang dari tadi menutup mata [Name] hanya bisa menghela napas.
Gini amat punya sodara, batinnya.
Halilintar turun dengan wajah memerah.
Ia sadar adik perempuan mereka ada di sini,dan Taufan malah mengumbar barang pribadinya di depan umum.
"Pfftt." Tanpa sadar [Name] tertawa. Membuat yang lain sontak menoleh ke arahnya. Bahkan Solar sampai melepaskan tangannya dari mata [Name].
[Name] langsung mengendalikan sikapnya. Apa aku melakukan kesalahan? batinnya.
"Buahahahah! [Name] aja sampe ketawa lho!" celetuk Blaze. "Emang Bang Upan sumber komedi di sini," sambungnya.
Yang lainnya pun ikut tertawa. Sedangkan Halilintar hanya tersenyum tipis.
Sangat tipis.
◇◇◇