Bagian 9

589 67 3
                                    

Ting!

[Name] melihat ponselnya. Ada nomor tidak dikenal yang mengirim foto dan pesan ke nomornya.

Hei, gw udh nyampe d daerah rmh lo.
Bsk janjian kuy. Bsk gw k rmh lo yak :")

08**** send a picture.

Mata [Name] membulat. Ying? batinnya.

Ying dulunya sempat menjadi eksekutif bersama [Name]. Tapi karena sifatnya yang terlalu barbar dan suka menyalahgunakan kekuatan, jabatan Ying dicopot dan ia dikeluarkan dari sekolah kepolisian.

Ying sudah lama menghilang, tapi kenapa ia muncul lagi sekarang? Dengan tiba - tibanya?

Dan parahnya besok ia akan berkunjung ke rumah [Name]!

[Name] menggelengkan kepalanya. Ying tidak boleh datang ke rumahnya. Keluarganya bisa terlibat dalam bahaya. Dan ia tidak mau kakak - kakaknya terluka saat Ying menggunakan kekuatannya.

Tidak.

Jangan lagi.

Sudah cukup ia saja yang melukai kakak - kakaknya. Jangan orang lain.

◇◇◇

"Makasih ya Om."

Dia melempar ponsel ke tubuh yang sudah tidak bergerak.

"Hmm. Kalo nggak salah dia punya abang ya? Heh. Menarik...."

Gadis itu tersenyum miring dan berjalan sendirian di malam yang dingin dan gelap.

Ia melihat kran air di pinggir taman kecil. Ia menghampirinya dan mencuci tangannya.

"Duh, darahnya kok susah banget ilang sih," keluhnya.

Setelah beberapa menit, noda darah di tangannya pun berhasil hilang dan ia tersenyum puas.

"Besok main sama siapa lagi ya?" gumamnya pada diri sendiri.

Ia pun kembali melanjutkan perjalanannya sambil bersenandung kecil.

◇◇◇

"Berita hari ini. Ditemukan jenazah empat orang pria di taman kota dan jenazah seorang pria di depan sebuah toko alat tulis. Diduga mereka tewas di waktu yang sama. Apakah pelakunya adalah orang yang sama?

Saya, Ravi J. Jambul, melaporkan dari tempat kejadian."

"Hoaammm." Ice mengusap matanya yang terasa sangat berat. Ia dipaksa Gempa bangun pagi untuk membantunya memasak sarapan.

Halilintar hanya melirik sekilas ke arah televisi dan kembali fokus pada ponselnya.

Ice pun tidak tahan dan menjatuhkan kepalanya di paha Halilintar yang tentunya membuat sang empu sedikit terkejut.

Blaze mengganti saluran televisi dan mencari acara yang lebih menarik.

"Kartun Bang! Kartun!" seru Duri semangat saat melihat salah satu saluran yang menampilkan acara kartun.

[Name] yang sempat melihat berita tadi masih terdiam di tangga.

Sepertinya ia akan mendapat kerja di hari libur.

Lagi.

Tapi di samping itu, [Name] masih kepikiran sesuatu.

Ya, Ying. Ia harus mencegah Ying datang ke rumahnya. Ia harus menjauhkan Ying dari kakak - kakaknya.

Bruk!

"Aduh! Eh maap [Name]. Abang nggak sengaja. Lagian kamu ngapain bediri di tangga?" tanya Taufan yang baru saja turun dari kamarnya dan tidak sengaja menabrak [Name]. Untung keduanya tidak ada yang jatuh.

[Name] yang terkejut langsung menggeleng cepat dan berlari ke kamar mandi.

Ia mengatur napasnya di dalam sana. Ia masih belum siap berbincang normal dengan kakak - kakaknya.

Sementara Taufan hanya meringis di tangga. Mampus, gue kebelet, batinnya.

"Bang, minjem toilet yak. Hajat gue udah mau close the door ini," Taufan memohon.

"Yaudah sono," balas Halilintar dingin. Tanpa basa - basi lagi, Taufan segera berlari ke kamar si sulung dan memakai toilet di kamarnya.

"Sejak kapan hajat bisa nutup pintu?" tanya Blaze dengan nada mengejek.

"Nggak usah protes kalo basing lu masih sebelas dua belas sama dia," balas Halilintar dingin, lagi.

Tiba - tiba bel rumah berbunyi.

Ting tong!

[Name] yang mendengar itu di kamar mandi, langsung mengatur napasnya yang tidak beraturan.

Jantungnya berdegup dengan sangat kencang dan keringat mulai membasahi tubuhnya.

Ting tong!

"Siapa sih pagi - pagi begini?" keluh Ice yang merasa tidurnya terganggu karena suara bel rumah.

"Udah siang bege," sahut Blaze.

"Bangun dulu Ice. Gue mau buka pintu." Ice menurut dan bangun dari paha Halilintar kemudian berpindah ke paha Duri.

Halilintar pun mendekati pintu dan membukanya.

◇◇◇

Forgive Me (Boel x Readers)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang