05. Ex-Bucin

26 5 4
                                    

2022, Present Day.

"Ayo, dong, Tante Soreee! Kita main puter-puter di situ lagi!" Bocah lelaki bermata sipit itu berusaha menyeret Sore kembali ke bawah terik Minggu siang.

Sore sudah terlalu berkeringat. Belum tuntas lelahnya menyetir ke restoran bergaya bohemian ini, Ryo sudah mengajaknya bermain. Naik perosotan, main ayunan, dan memanjat jaring-jaring .... Lengan Sore sampai licin dan membuat tarikan itu tergelincir.

"Ogah! Nggak mauuu! Tante Sore capek, Ryooo!"

"Ah, payah!"

"Udah sana main sendiri dulu, Mama liatin dari sini. Biarin Tante Sore minum dulu. Kasian nih, udah kering kayak tiker!" Emma membela sahabatnya, tanpa lupa mengejek pula.

Ryo manyun. Tapi segera mematuhi perintah mamanya. Bocah delapan tahun itu langsung berlari dan mengantre untuk memanjat rumah pohon dengan anak-anak lainnya.

"Sejak kapan, sih, kita kalau hangout ke tempat yang kayak gini? Hhh...."

Ngos-ngosan, Sore merayap ke sisi tikar yang lebih teduh, dimana Emma duduk. Di pangkuan Emma, balita perempuan sudah tampak mengantuk. Yui sudah kelelahan dan mulai terlelap.

"Sejak Ryo mulai bisa jalan nggak, sih?" Emma mengingat-ingat, lalu tertawa. "Hahaha. Jaman kita gadis, kayaknya jam segini kita masih molor. Malem minggu waktunya party-party sampai pagi."

"Kita? Kamu aja kali."

"Yeee! Situ juga kan udah nggak gadis, Re!" ralat Emma, mengejek.

Sore tak menggubris ledekan Emma. Tangannya merenggut jus jeruk pesanannya yang sudah kehilangan es batu. Lapisan jernih di permukaan teratasnya menandakan kalahnya pendingin itu oleh suasana cerah hari ini.

Minggu adalah waktu bagi Sore untuk waras sejenak dari semua beban pekerjaan. Mengajak Emma jalan-jalan sepertinya sudah jadi rutinitas di akhir pekan Sore. Terutama jika Taka sedang bertugas kembali ke Osaka. Sebetulnya, ini juga cara yang bisa Sore lakukan supaya Emma tidak stress di rumah.

Apakah itu karena Sore seorang sahabat yang baik dan perhatian? Mungkin, iya .... Tapi tidak juga, sih. Sore lebih terganggu kalau Emma stress. Ponselnya bisa meledak karena rengekan Emma kalau sudah jenuh mengurus anak.

"By the way, Widi udah balikin buku itu ke kamu?"

Segarnya jeruk mendadak jadi hambar di lidah Sore. Emma salah waktu untuk mengungkit masalah itu.

"Ck. Belum. Dia nggak mau balikin sama sekali," geram Sore lalu meletakkan gelasnya kasar.

Sore merebahkan tubuhnya di permukaan tikar. Menatap tepian payung lebar berwarna merah yang menaungi mereka. Tak salah ia mengajak Emma, Ryo, dan Yui ke restoran ini. Tempatnya lega dan banyak angin semilir. Di halaman belakang bangunan utama serba putih beratap rumput, banyak wahana permainan anak-anak. Mereka jadi bisa asik mengobrol sementara Ryo sibuk bermain. Setidaknya, suasana yang nyaman dan menu yang enak mengurangi kekesalan Sore atas topik yang diingatkan Emma.

"Aneh, ya, si Widi itu. Ngapain dia nyimpen buku kamu? Orang waktu itu aja dia udah nolak kamu."

Batal. Sore membatalkan pernyataan tentang rasa sebalnya yang berkurang. Diingatkan sejarah kelamnya yang ditolak Widi, membuat level kesal Sore setara level ayam geprek paling tinggi. Pedas dan violent.

"Emang dasar aneh!"

Emma berdecak dan geleng-geleng kepala. Tangannya hati-hati mengambil blueberry smoothies pesanannya agar tidak menetesi wajah Yui yang terlelap di pangkuannya.

"Hmm ... Terus, kenapa waktu itu kamu tiba-tiba tanya tentang Ganda?"


***

Undo Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang