03. Menjadi Ganda

38 6 0
                                    

Ini jelas bukan tahun 2022. Pertama, Widi di hadapan Sore bukan Widi yang sehari-hari ia temui di kantor. Widi yang ini terlalu muda, terlalu bersemangat, terlalu jerawatan, dan terlalu tipis. Otot hasil rajin olahraganya belum ada, begitu juga sisiran rambut yang biasanya rapi jali. Widi yang ini jelas-jelas masih remaja dan tidak kenal styling gel. Poni ikalnya juga nemplok erat berkat keringat yang membuat keningnya mengkilap.

Kedua, gedung sekolah dekat lapangan olahraga masih dua lantai. Sore ingat betul, beberapa tahun lalu Arsiteja dapat proyek merenovasi gedung sekolah ini. Widi salah satu alumni yang masih sering menyumbang. Pihak sekolah pun mempercayakan pembangunan tambahan padanya. Waktu mengerjakan proyek itu, Sore menyaksikan sendiri bagaimana modern dan perlentenya gedung sekolah SMA-nya dahulu. Tidak seperti yang Sore lihat kini.

Ketiga dan selanjutnya: tidak ada WiFi, ponsel pintar dengan layar sentuh, vending machine, siswa yang memakai masker ... Oh, dan baunya ... ya, ini bau lawas!

"Kamu ngapain sih, Gan?" Widi menatap kawannya ini heran. Sejak beberapa saat lalu, mata Ganda tak henti kelayapan ke seluruh penjuru sekolah. Celingukan macam tetangga baru. Sekarang Ganda malah mengendus-endus udara. Widi jadi latah ikut mengendus-endus sekitarnya. Memangnya ada bau apa, sih?

"Emang biasanya kalau mimpi ada baunya, ya?"

"Hah?"

Gelagat Ganda di hadapan Widi kini makin aneh. Remaja berkulit cokelat itu mengangkat lengannya, mengendus-endus aroma ketiaknya sendiri.

Widi mengernyit dan mendesis, "Kamu itu kenapa, sih, dari tadi? Keracunan aroma tai sendiri? Sejak kelamaan di kamar mandi, kamu jadi aneh tahu nggak?"

"Iya, kan?!" Sore yang terjebak di tubuh Ganda setuju. "Aneh banget! Kenapa aku jadi item, berotot, jago lari gini? Eh, eh, kamu lihat sediri, kan, Wid? Waktu dihukum lari lima putaran gara-gara telat tadi, masa aku bisa finish bareng anak-anak lain yang tiga putaran?! Gila! Keren banget!"

Rasa bingung yang nyaris jadi cemas, mengempis begitu saja. Jadi sejak tadi Ganda sedang berusaha menyombong di hadapannya? Widi jadi keki sendiri.

"Iyaaa, iyaaa. Aku tahu, kamu lagi nyombongin rekor baru kamu di latihan minggu lalu. Kondisi kakiku waktu itu lagi nggak oke. Jadi aku bakal balas kamu hari ini, Gan. Aku jamin catatan waktuku di penilaian lari 100 meter kali ini lebih bagus daripada kamu."

Ganda tampak tak peduli dengan nada sengit Widi. Ganda malah sibuk berlari kecil, lalu melompat-lompat. Mengetes kemampuan fisiknya yang terasa berbeda sekali dengan seharusnya.

Ya. Di ujung awal jam pelajaran olahraga ini, Sore menghabiskan waktu merasa-rasakan perubahan di tubuhnya. Sore menyadari kalau apa yang ia alami sebagai Ganda terasa terlalu nyata. Sore bahkan bisa merasakan tubuhnya lebih ringan dan lentuk. Beda sekali dengan Sore versi dewasa. Jangankan lari, duduk di depan komputer saja sudah cukup membuat semua sendi Sore ngilu-ngilu di malam hari.

"Ganda! Kamu dengerin nggak, sih?!" Widi sewot. Omongannya tak digubris sama sekali.

Sore jadi kesal. "Enggak! Apaan, sih?! Ternyata kamu dulu cerewet banget, ya, aslinya?!"

Widi melongo. Dulu?

***

Remaja berambut jabrik itu melesat dengan mudah. Sepasang tungkai kakinya menapak mantap pada permukaan track lari, lalu segera melenting ke udara. Ada momen dimana tubuhnya sepenuhnya melambung melawan gravitasi, melejit cepat seperti kereta malam.

Takjub dengan tubuhnya sendiri, Sore dalam tubuh Ganda memekik norak. "Wooaaah! Super speed!"

Badan tiga puluh lima tahun Sore mana mau dibawa lari secepat ini. Jangankan menempuh seratus meter dalam waktu kurang dari dua belas detik, Adira Sore dalam tubuhnya sendiri bahkan lebih suka menggelindingkan kursi kantor yang didudukinya untuk mengambil hasil print di sudut meja kerja.

Undo Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang