Part 11

10.3K 593 11
                                    

Hanya beberapa detik mata kami bertemu, sebelum dia memutuskan lebih dahulu. Pria itu sibuk dengan kegiatannya, dengan telaten dia meniup bubur yang asapnya masih mengepul dan menyuapiku.

Aku hanya bisa pasrah menerima perlakuannya, apa dia tidak menyadari betapa menggilanya debar jantung ini,  begitu dekatnya jarak kami, hingga sekujur wajah tampannya membuat hati nelangsa.
Ribuan kali aku mencoba menyadarkan hatiku hasilnya tetap sama, aku masih sangat mencintai pria ini.

Suapan demi suapan  masih saja membuat tubuh ini bergetar, ingin sekali aku merengkuh dan membingkaianya dengan kerinduan. Namun aku sadar, ada sebuah tembok yang tidak mungkin bisa aku lewati, hati dan jiwanya bukan lagi milikku, bahkan mata elang yang dulu begitu dalam saat mengungkap cinta, kini  tidak lagi mampu aku selami.

"Apa Rara yang memberitahumu kalau aku sakit?" Kini aku kembali bersua, setelah beberapa lama kita bertahan dengan keheningan. Aku yakin dia orang yang enggan mulai pembicaraan jika itu tidak penting.

"Kalau sedang sakit, kamu tidak boleh menahannya sendiri."

"Aku bukan anak kecil Revan, aku bisa minta bantuan orang lain kalau sudah tidak tahan."

Mata Revan menyipit, dia seperti tidak setuju dengan perkataanku. Aku ingin kembali mengeluarkan suara namun dering ponsel mengintrupsi. Nama Luna yang tertera di layar, tadi pagi lupa mengabari Luna kalau hari ini aku tidak masuk kerja.

"Iya Lun," jawabku ketika panggilan kami sudah terhubung.

"Lo kemana Fay, kok nggak masuk, lo baik-baik aja kan? Bos besar nyariin lo, untung pak Bagas hari ini nggak masuk."

Aku sedikit menelan ludah, Revan menatapku tajam, masih menyelesaikan tugasnya menyuapiku.

"Gue sakit perut Lun, tolong sampaikan ke bos ya?"

"Udah gue duga, lo sih makan cabe kalap banget, lo kira perut lo besi! terus gimana lo udah berobat belum? Jangan bilang lo belum ke dokter, gue ke apartemen lo ya? Gue antar lo ke dokter."

"Lo nggak perlu kesini, gue udah berobat kok."

"Gue enggak percaya lo anti banget pergi ke dokter, gue yakin lo lebih memilih menahan sakit lo daripada pergi ke dokter. Apalagi tadi gue sempet hubungin Andin, katanya lo di apartemen sendiri."

"Gue beneran udah diobatin Lun, kalau lo nggak percaya, lo bisa ngomong sama dokternya, ini dokternya masih disini." Aku langsung menyerahkan ponselku ke Revan, malas mendebat Luna.

Pria tampan ini menuruti permintaanku, tanpa ragu ia sedikit mendekatkan ponsel ke telinganya, aku yakin ia tidak mau terlalu menempelkan ketelinganya karena volume suaranya memang terdengar keras, meski tidak mode speaker.

"Ayo Lun bicara, ponselnya udah kuberikan ke dokternya."

"Iya bawel, kalau suara lo udah kayak toa gini sih berarti lo udah baikan." dengus Luna

"Maaf dokter, saya kira teman saya bohong, soalnya dia bandel kayak anak kecil." lanjut Luna, membuat mataku mendelik, kalau ada Luna dihadapanku aku tidak sungkan menyumpal mulutnya.

Revan diam tidak menanggapi perkataan Luna namun dia tetap bersedia mendengarkan. Benar-benar lelaki dingin.

"Ehm... tapi teman saya baik-baik aja kan dok, biar bagaimana pun saya khawatir dok," lanjut Luna.

"Keadaannya sudah lebih baik," jawab Revan dengan nada datarnya.

"Makasih dokter tolong rawat teman saya dengan baik soalnya kasian tidak ada yang mau merhatiin dia.....," Luna masih menggebu dengan ucapannya, namun Revan seolah tidak peduli dan memberikan ponsel itu padaku, dasar Luna tidak tahukah yang diajak bicara orang sedingin es.

Bring My Heart (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang