3. Red Eye

865 72 2
                                    

Riri terbangun saat mendengar bel istirahat sekolahnya berbunyi. Ia terduduk dan tak terkejut sama sekali saat melihat Rama yang duduk di kursi didekatnya. Rama yang menyadarinya mengangkat kepala yang sedari tadi ditundukkannya.  Kilatan biru dimatanya terlihat lalu menghilang. Riri terdiam melihatnya.

"Sia-sia kamu menggunakannya padaku. Kamu sendiri tahu hal itu tak akan berhasil." Kata Riri sedikit kesal. Rama mengangkat bahu.

"Aku hanya mencoba membantu sahabat karibku. Hanya itu. dan aku telah mencoba walau tak berhasil mengetahui apa yang terjadi padamu." Ujarnya. "aku hanya bisa menebak."

"Tebaklah." Kata Riri yang terdengar seperti perintah. Rama terdiam sesaat lalu menghela napas.

"Mimpi itu mulai terjadi kan?" Tanya Rama. Sekali lagi, Riri tidak terkejut.

"Ya. Selalu terulang." Kata Riri sembari menatap kedua tangannya.

"tidak kamu beritahu?" Tanya Rama. Riri menoleh dan menatap sahabat lamanya itu.

"Aku tidak sejujur kamu. Juga tidak seberani pangeran Wirs dan sepuitis Raja Rouw." Rian membuka pintu UKS saat Riri mengucapkannya. Ia mengerutkan keningnya dengan susu kotak juga roti kesukaan Riri ditangannya.

"Sedang apa kak Rama?" Tanya Rian sembari mengerutkan keningnya. Rama menyadari nada usiran itu dan berdiri dari kursinya.

"Sudah ya, aku lapar Ri. GWS." Katanya lalu berjalan melewati Rian yang terus memper-hatikannya dari ambang pintu. Saat melewatinya, Rian membalas tatapan kesal Rian dengan tatapan tajamnya. Rian sedikit terkejut karena sesaat ia seperti melihat kilatan biru dimatanya. Saat Rama pergi, Rian tersadar dari lamunan sesaatnya lalu mengabaikan apa yang dirisaukannya. Barangkali ia salah lihat.

Rian duduk ditempat Rama tadi sembari memberi apa yang ditangannya pada Riri.

"Lapar kan?" Tanya Rian memastikan. Riri menerima susu dan roti itu dengan antusias.

"Sangat!" katanya semangat. Ia segera membuka bungkus roti namun behenti sesaat. "Kamu sudah makan?" tanyanya. Rian terdiam sesaat.

"Sudah." Jawabnya singkat.

"Jangan bohong." Ujar Riri kesal. Rian terdiam lagi. Ia sudah terbiasa dengan perkataan Riri yang seperti bisa membaca isi hatinya itu. Rian memang tak pernah bisa bohong dari Riri.

Rian tertawa kecil kemudian. "Belum sih."

Riri memotong rotinya menjadi dua lalu memberikannya pada Rian. Roti isi coklat kesukaan mereka berdua. Rian menerimanya lalu segera melahapnya karena memang dia kelaparan sejak pelajaran membosankan tadi.

"Oh iya. Tumben sekali kamu pingsan. Sakit ya?" Tanya Rian disela makannya.

"Tidak. Hanya kurang tidur." Jawab Riri yang masih sibuk memakan rotinya. "Nanti kakek pasti memasakkan spaghetti untuk kita." Tambahnya.

"Tahu dari mana?" Tanya Rian bingung.

"Firasat." Jawab Riri singkat yang disambut oleh gelak tawa Rian.

"Firasatmu selalu benar. Kamu sebenarnya peramal yang menyamar?" Tanya Rian melawak. Riri tertawa kecil.

"Firasat perempuan selalu tajam kan?"

"Tapi kamu terlalu tajam." Kata Rian. Mereka berdua tertawa setelahnya. "Kenapa kamu bisa kurang tidur? Bukannya kamu tukang tidur pro?" Tanya Rian kembali pada topic utama. Riri yang sudah menghabiskan rotinya mulai meminum susu kotak rasa strawberry-nya. ia lalu berhenti sesaat dan menatap Rian serius. Tanpa senyuman atau apapun itu.

"Hanya mimpi buruk." Ucapnya.

________

"Spaghetti~" senandung Riri dimeja makan menanti bagiannya. Rian hanya menggelengkan kepalanya saja melihat Riri yang seperti makan dirumahnya sendiri.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang