5. Haruskah?

820 66 5
                                    

Rian duduk dipinggir lapangan sembari menatap teman-temannya bermain bola. Nafasnya lebih teratur dibandingkan sebelumnya. Baju-nya basah karena keringat. Ia memperhatikan bola yang terus menggelinding bergantian ke orang-orang yang berbeda. Mata Rian berhenti mencari saat Rama tiba-tiba duduk disampingnya dengan bermandikan keringat. 

"Jarak 1 meter. Bau." Ujar Rian santai sambil sedikit menjauh. Rama tertawa saja saat mendengarnya.

"Ada apa dengan kalian?" tanyanya tiba-tiba.

"Siapa?"

"Kau dan Riri."

"Tidak ada." Jawab Rian singkat. Rama tertawa kecil.

"Jangan bohong, seharian tadi disekolah kulihat kau selalu mengabaikannya." Kata Rama lagi, kali ini membuat Rian kesal.

"Tidak ada hubungannya denganmu." Kata Rian singkat. Helaan napas panjang Rama terdengar jelas kemudian.

"Tentu saja ada." Ujar Rama. Rian mengerutkan keningnya dan menoleh menatap Rama. Kini Rian hanya bisa terdiam saat melihat tatapan serius Rama. Tatapan tajam dan dingin itu kini mengarah kepada Rian. Rama mendekati Rian dan mengatakan sesuatu setengah berbisik.

"Kalau kau berani menyakitinya, maka kau berurusan denganku." Ujarnya penuh penekanan pada Rian. Rian hanya bisa terdiam berusaha merespon apa yang baru saja dikatakannya. Setelahnya Rama berdiri dan berlari ke arah lapangan untuk bermain.

Rian terdiam ditempatnya dengan kesal. Sesekali ia menatap jam tangannya. Jam 4. Sebentar lagi ekskul sepak bolanya selesai. Seorang pria paruh baya meniup peluit sehingga semua yang ada dilapangan termasuk Rian berdiri dan berkumpul mendekati pria itu.

"Latihan hari ini selesai. Sabtu kita mengadakan pertandingan persahabatan dengan SMAN 70. Kalian harus menang." Ujarnya. kalimatnya singkat dan padat, namun penuh dengan penekanan. "Daffa,pimpin doa." Pinta pelatih itu.

Daffa mengangguk dan lalu memimpin semua temannya untuk berdoa. Rian menunduk berdoa sesaat, dan saat selesai ia mengerutkan keningnya. Ia seperti menyadari sesuatu yang janggal sebelumnya. Saat dibubarkan dan ekskulnya selesai, ia segera berlari ke dalam gedung sekolah. ia berlari dengan cepat menuju kelasnya sendiri dan ia terdiam sesampainya disana.

"Eh, Rian. Ekskulmu sudah selesai?" Tanya Raisa dengan senyuman khas-nya. Rian berjalan mendekati Raisa yang kini berdiri dengan sebungkus kue kering ditangannya.

"Aku membuatkanmu dan Riri kue kering saat ekskul tadi, tapi sepertinya Riri sudah pulang lebih dulu?" ujar Raisa. Rian kini berdiri tepat dihadapan Raisa dengan nafasnya yang mulai teratur. Rian menatap Raisa lekat-lekat, sedangkan Raisa hanya berdiri menatapnya kebingungan tanda tak mengerti.

"Aku selalu mencarimu." Kata Rian. Raisa menunjukkan ekspresi terkejutnya saat mendegar hal yang tak diduganya itu.

"Apa?"

"Aku menunggumu karena kau sudah berjanji." Kata Rian lagi. Raisa semakin tak mengerti.

"Aku...berjanji apa?" Tanya Raisa butuh kepastian. Rian terdiam sesaat lalu tertawa. "A,apa?" Tanya Raisa lagi. Ia benar-benar kebingungan kali ini.

"Tidak ada." Jawab Rian. Ia lalu berhenti tertawa dan menatap gadis itu dengan senyumannya. Raisa menatap Rian kebingungan tapi tak bertanya apa-apa lagi.

"Ayo pulang." Ujar Rian menutup pembicaraan mereka dikelas.

_____

Bagi Rian, saat yang paling dibencinya adalah saat ia berulang tahun yang ke lima. Selama ini Rian tinggal dengan kakeknya karena orang tuanya sangat sibuk bekerja. Memang sesekali orang tuanya pulang menjenguknya, tapi hal itu sangat jarang. Biasanya orang tuanya selalu hadir dalam ulang tahunnya, namun sejak ulang tahunnya yang kelima, Rian tak pernah bertemu dengan orang tuanya lagi. Ia hanya bisa mengetahui kabar orang tuanya dari telepon, itupun jarang. Pertama kalinya memang sangat menyebalkan tapi kemudian menjadi sebuah kebiasaan bagi Rian.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang