8. "Ayo kita jadian"

680 62 1
                                    

"Sudah kembali saja ke Rune." Ucap Rama cemas. Ia berdiri dengan mata birunya itu menatap lurus ke arah Riri.

Riri duduk di kursi ruang tamunya sambil menatap sinis Rama yang ada dihadapannya. "Kau dipihak siapa sih? Raja atau putri?"

"Aku dipihak seorang Riri." Jawab Rama enteng. Ia kemudian bangkit dari sofa dan melangkah menuju pintu rumah Riri. "Sudah ya." Pamitnya singkat.

Riri masih duduk bersandar pada sofa empuknya. Ia memejamkan matanya rapat seperti sedang memikirkan sesuatu. Dan seiring berlalunya waktu dalam keheningan, Riri pun pergi melayang ke dunia mimpi.

_____

Rasa sakit terus dirasakan Riri di bagian kepala. Terus terasa berdenyut dan berdenyut. Kepalanya pusing dan tubuhnya lemas. Rian tidak menyadarinya.

Siang itu untuk pertama kalinya Riri berdoa agar bel pulang sekolah segera berbunyi. Tak perlu susah-susah, lima menit kemudian bel pulang berbunyi. Riri menghela nafas lega.

Tapi, tunggu. Ini percuma. Walaupun bel berbunyi tapi Riri sekarang bahkan tak bisa bangkit dari kursinya. Dia terlalu lemah. Ia menggerutu kesal dan menoleh ke kursi Rian yang sudah kosong. Nafasnya hampir saja tertahan saat tahu Rian pulang bahkan tanpa bertanya dulu padanya.

Selama beberapa saat ia duduk dikursinya, Riri berusaha bangkit sambil tetap berpegangan pada meja kelas yang berjejer itu. Dengan pandangan yang hampor buram itu, Riri daat melihat sesosok lelaki tengah berdiri dihadapannya.

"Putri, menyerahlah." Ujar Rama kali ini cemas bukan main. Riri dengan sekuat tenaga menggelengkan kepalanya.

"Kau tahu sifatku yang pantang menyerah." Ujarnya dengan suara yang mulai serak.

"Kau tahu kelanjutannya." Ujar Rama lagi. Riri kembali menggeleng dan berjalan mendekatinya dengan lunglai. Saat hampir jatuh, Rama berhasil menangkap tubuh Riri yang mulai terasa dingin.

"A-aku... tidak mau..." kepala Riri kini berada dipelukan Rama. Rama memeluknya sambil mengusap kepalanya pelan. Dari suara nya barusan, Rama tahu bahwa Riri tengah menangis.

"Sudahlah putri.. " Rama berusaha menenangkan. Tubuh lemah itu mulai bergerak naik turun karena menahan isakan.

Seseorang tiba-tiba masuk kekelas dan menatap kejadian itu dengan mata yang melebar. "Ah..." ucapnya tanpa sengaja.

Rama menelan ludah melihat Rian yang berdiri di ambang pintu. Riri ikut melirik dan terkejut. Rian justru lebih gugup dari mereka berdua.

"Maaf, aku tak sengaja... tadi... kukira..." Rian tak melanjutkan kalimatnya. Ia menatap keduanya bergantian.

"Ini bukan...."

"Tidak, tidak! Kali ini aku yang salah." Sela Rian. "Aku... permisi dulu.." ujarnya lalu berlari. Riri berniat untuk mengejarnya tapi Rama segera menarik tangannya pelan. Dengan tubuh seperti itu, Riri segera meringis kesakitan. Rama segera melepaskannya.

"Dengan tubuhmu yang lemah.. bahkan kau tidak akan tahan dalam dua hari.." ujarnya khawatir. Riri berpangku pada meja sambil menatap Rama kesal.

"Kalau kau tahu lebih baik bantu aku!" serunya dengan suara parau. Rama menghela nafas panjang.

"Tidak bisa.." ujarnya.

"Apa?"

"Kau... tidak melihat atau merasakan apapun?" Rama menatap Riri dengan sedikit takut.

"Merasakan... apa?" Riri mengerjapkan matanya beberapa kali tapi kemudian tersentak. "Urgh," sambil membekap mulutnya sendiri, Riri kemudian duduk dikursi. Rama hanya bisa melihatnya dengan mata birunya itu.

"Aku... tidak bisa membantumu lagi." Ujar Rama. Kali ini suaranya benar-benar sedih. Ia menatap putri kerajaan Rune yang terlihat kesakitan itu dengan penuh rasa bersalah. Air matanya mengalir di pipi kirinya dan kemudian terlihat bercak merah di pipinya.

"Maaf Ri." Ujarnya singkat dengan suara parau.

_____

Nafas Rian tercekat. Ia berlari sekuat tenaga untuk lari dari sekolah. Tidak. Mungkin lebih tepatnya lari dari perasaan itu. Ia berhenti tepat saat sampaj di tempat parkir. Ia bertumpu pada motornya sambil berusaha mengatur nafasnya.

Yang dilihatnya barusan benar-benar tak terduga. Tak pernah ia bayangkan. Walapun ia sedikit menduga bahwa ada hubungan diantara Riri dan Rama, ia tetap tak pernah memikirkannya.

"Rian?"

Rian sedikit terkejut tapi kemudian menoleh. Ia mendapati Raisa berdiri dibelakangnya sambil menatapnya cemas.

"Kau tidak apa-apa?" Tanyanya cemas.

"Kau belum pulang?" Rian balik bertanya. Raisa menggelengkan kepalanya pelan.

"Aku menunggumu."

"Apa?"

"Ada hal yang ingin kukatakan padamu." Ujar Raisa sambil menunduk. Rian tersentak sekali lagi. Jantungnya masih berdetak dengan cepat. Lebih cepat dari biasanya. Ia tahu kelanjutannya.

"Ha?"

Raisa menelan ludah dan menatap Rian serius. "Aku.........."

Kalimat yang diucapkan Raisa bagai angin yang bertiup di telinga Rian. Ia terpana untuk beberapa saat. Walau tahu apa yang ingin dikatakan Raisa, Rian tetap saja terkejut.

"...ha?" Rian mengerjapkan matanya beberapa kali pada Raisa yang tertunduk malu.

"Aku, aku tahu ini aneh! Tapi aku ingin sekali mengatakannya. Aku takut semua akan terlambat.. aku.." Raisa tak melanjutkan klimatnya. Rian menatap gadis itu. Benar-benar terpana.

"Ah, jika ini membuatmu kesu-"

"Ya."

"Apa?"

"Ayo kita jadian." Rian mengutuki dirinya sendiri yang mulai gila. Karena tiba-tiba apa yang keluar dari mulutnya adalah perkataan yang lebih gila dari pernyataan cinta Raisa.

Raisa kini menatap Rian tak kalah terkejutnya. Ia terpana dengan mulutnya yang sedikit terbuka.

"Be-benar?" Raisa mengerjapkan matanya beberapa kali. Rian terdiam berpikir sebentar. ini masih belum terlambat, ia masih bisa mengatakan pada gadis itu bahwa tadi dia kehilangan kesadaran dan ada alien yang menguasai pikirannya.

Entah kenapa bayangan Riri muncul dibenaknya. Rian menelan ludah.

"Iya." Jawab Rian pada akhirnya. "Ayo kita.. jadian.."

Raisa menatap Rian tak percaya tapi kemudian tersenyum senang. Ia menghampiri Rian lalu segera memeluknya. Rian sendiri hanya bisa diam sambil mengutuk dirinya sendiri.

Tidak apa. Raisa. Gadis itu. Adalah cinta pertamanya. Jauh sebelum Riri datang. Di taman itu. Gadis yang berjanji tidak akan meninggalkannya. tidak. Kenapa rasanya berbeda. Rasanya ada yang hilang didalam benak Rian. Sesatu yang berharga telah hilang. Dan pada detik itu juga, Rian menyadari ada sesuatu yang berbeda.

_____

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang