10. Larangan Lian dan Kebohongan

209 16 1
                                    

“Memang bukan cenayang tapi setidaknya perasaanlah yang gue jadikan patokan.”

—Quotes—

***

Lian membanting buku ke sembarangan arah kala sahabatnya baru melangkah masuk. Suasana senyap nan gelap di gudang sekolah membuat Lian lebih leluasa meluapkan segala kekesalannya terhadap kejadian tadi di kantin. Terlebih pada Azura yang kini memandang punggungnya keheranan.

"Kenapa lo yang jadi marah-marah?" Sembari berkata Azura pun meletakkan gitar di kursi lusuh kesayangannya, lantas merentangkan tubuh seraya memandang Lian yang wajahnya merah padam.

Lian menoleh sekilas. "Kita baru aja ngerasa tenteram, kenapa lo malah buat masalah lagi?"

Azura mengembuskan napas panjang lantas berdiri menghadap Lian. "Karena semuanya punya alasan." Dengan tanpa dosa Azura menjawab demikian yang membuat Lian menggeleng heran.

Lian mendelik ke arah Calvin dan Ozora yang tetap diam memperhatikan. Mereka berdua saling mengembuskan napas gusar, sebab setelah sekian lama Lian diam lantas sekarang kembali bersua hanya karena kehadiran dua anak baru yang meresahkan. Mereka khawatir jika Lian terus memarahi Azura malah membuat perkelahian antara keduanya, walau semua itu tak pernah terjadi.

"Cuma karena cewek yang baru lo kenal itu? Lo rela bikin masalah. Lo gak tahu masa lalu dia seperti apa? Gimana kalau nanti lo malah kena batunya!" Mata Lian menyiratkan kemarahan yang kentara membuat Azura menatapnya lekat.

Kala Azura akan menjawab tangan Lian justru mengisyaratkannya untuk diam. "Stop! Kalau jawaban lo sama seperti yang udah berlalu. Gue malah berharap lo lupain semua kata-kata gue tempo lalu itu karena gue gak mau semuanya jadi benalu buat lo!" Bahkan, tangan Lian pun menunjuk wajah Azura seolah memerintah.

Azura membuang muka beberapa saat dan kembali menatap Lian. "Dulu lo pernah bilang ... mencintai itu punya alasan dan sekarang gue tengah mencari alasan mengapa gue bisa suka sama Azkia." Mimik Azura nampak serius dengan tatapan tajam ciri khasnya.

Tas gitar yang Azura letakkan kembali dibawanya. Sebelum beranjak Azura kembali menatap Lian yang diam. "Gue cuma dikasih satu kesempatan di masa SMA buat mencintai dan berjuang untuk seseorang. Gue juga mau belajar berjuang buat bisa dapetin sesuatu, toh, selama gue baku hantam gue gak pernah kalah dari lawan. So, jangan khawatir gue mati cuma karena belain cewek!" Mungkin iya. Azura selalu bersikap manja dan tengil bahkan serius secara bersamaan. Itu memang benar, lihatlah sekarang dalam waktu bersamaan ia mampu menggabungkan ketiga sifat tersebut membuat Lian bungkam bahkan kemarahannya perlahan mereda.

Lian memalingkan wajah selaras dengan Azura yang melenggang setelah menepuk bahunya beberapa kali. Tak lupa pada Calvin dan Ozora yang sedari tadi berdiri di belakangnya. "Cal, jangan deketin cewek terus! Kuping gue pengang denger ceramahan nyokap lo dan lo Ozora ... jangan bikin anak Pak Mahmud nangis karena lo tatap sengit entar bapak lo marah lagi ke gue!" Azura mengedipkan sebelah matanya dan memberi hormat dua jari pada dua bocah itu lantas sempurna melenggang sembari bersenandung riang seolah tidak ada perdebatan sebelumnya.

Ketiganya lantas mendengar Azura yang mengangkat sambungan telepon. "Hallo Bunda manis aku." Yang berarti sudah dua jam Azura terbebas dari ocehan Anya yang sama-sama saja seperti itu, tetapi yang membuat heran mengapa Azura tidak bosan?

"Sayang! Kamu gak bosen telepon Azura terus hmm?" Bima lantas membenarkan helaian rambut sang istri membuat telepon itu sejenak berhenti.

"Mana bisa aku bosan, sayang. Karena aku khawatir Azura kenapa-kenapa dia'kan nakal kayak kamu," jawab Anya sedikit dengan nada meledek membuat Bima menahan rasa kesalnya terhadap ucapan sang istri.

3. Pangeran AzuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang